unescoworldheritagesites.com

Dagelan Demokrasi - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi, Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)

Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi, 

: Kandidat petarung dalam hajatan pesta demokrasi pada 2024 ada 3 yaitu Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Duet Anies – Muhaimin Iskandar (Imin) dan Ganjar – Mahfud MD sudah mendaftarkan diri ke KPU untuk bertarung memperebutkan suara kemenangan dan pemenangan di pilpres tahun 2024.

Tetapi di sisi lain Prabowo masih belum memastikan siapa cawapresnya. Kasak-kusuk akhirnya diperlihatkan ke publik karena ada sejumlah calon yang siap menjadi cawapres, baik dari partai koalisi maupun non-koalisi, termasuk juga dari kalangan NU.

Terkait hal ini, tidak bisa dipungkiri bahwa NU menjadi perebutan dari ketiga kandidat petarung tersebut dan akhirnya Anies dan Ganjar mendapatkan figur cawapresnya yaitu Cak Imin dan Mahfud MD. Jadi, suara NU benar-benar menjadi penting pada pilpres 2024 mendatang.

Mengapa NU? Mengapa tidak Muhammadiyah? Bukankah NU dan Muhammadiyah itu memiliki basis massa yang sangat luar biasa, tidak hanya di Jawa tapi juga di luar Jawa. Mengapa dengan NU? Tentu menarik dicermati di balik kehadiran 2 tokoh NU di hajatan pesta demokrasi pada 2024 yaitu Cak Imin dan Mahfud MD.

Yang justru menjadi sangat menarik adalah apakah Prabowo juga akan menyandingkannya dengan cawapres berasal dari NU juga? Khofifah sejatinya juga sangat potensial untuk bisa mendulang suara pada pilpres 2024 dan pastinya Khofifah juga mewakili karakteristik NU. Bahkan potensi dari Khofifah juga sangat besar. Selain itu, ada juga Yeni Wahid yang juga sangat potensial di pasangkan dengan Prabowo demi kemenangan dan pemenangan dalam pilpres.

Semua kalkulasi bisa dihitung, baik dari kalangan NU maupun non-NU, meski juga ada beberapa aspek yang harus dicermati. Jadi, jika suara NU sudah dipecah dengan adanya Cak Imin dan Mahfud MD maka suara di Jawa Timur akan menjadi penentu, apakah ada dua putaran atau cukup satu putaran dalam pilpres nanti.

Padahal, satu putaran saja akan menghabiskan anggaran cukup besar, apalagi jika nanti ada dua putaran. Selain besarnya anggaran, pertimbangan lain adalah kejenuhan dan kebosanan publik dengan hajatan di pesta demokrasi karena juga akan ada pesta demokrasi untuk kepentingan legislatif yang juga akan diselenggarakan secara serentak. Artinya, setahun pada 2024 setidaknya pasti akan ada 2 pesta demokrasi dan mungkin menjadi 3 jika akan berlangsung 2 putaran.

Fakta lain yang juga menarik dicermati dalam sepekan terakhir adalah lahirnya putusan dari MK yang merevisi ambang batas usia calon pemimpin. Meski pada putusan di balik gugatan yang pertama ditolak tetapi masuknya gugatan kedua memberikan putusan yang memicu perdebatan dan kontroversi. Argumen yang mendasari karena hasil putusan itu lebih memberikan izin bagi kandidat yang berusia kurang dari 40 tahun tapi pernah menjabat dan atau sedang menjabat kepala daerah.

Publik tentunya paham siapa yang diuntungkan dari putusan MK tersebut dan cibiran yang muncul akhirnya berkonotasi dengan harapan dinasti politik dan politik dinasti. Artinya, demi memuluskan suatu ambisi dan syahwat kekuasaan demokrasi maka regulasi, kebijakan dan perundangan bisa direkayasa. Fakta ini menjadi pembelajaran tentang dagelan demokrasi yang dipertontonkan menuju tahap pendaftaran capres – cawapres di KPU.

Demokrasi yang ada di republik ini ternyata bukan semakin dewasa tetapi justru pongah dan ironisnya para petinggi dan penguasa parpol justru menikmatinya seolah rakyat lalai dengan semua praktek culas yang dipermainkan dan dipertontonkan.

Jadi, jangan heran jika potensi golput akan semakin tinggi karena ‘kedunguan’ yang dipraktekkan penguasa dan petinggi parpol di republik ini. Seolah kekuasaan adalah milik nenek moyang tanpa mengenal belas kasihan sehingga rakyat dikebiri dengan berbagai dalih demokrasi untuk sekedar membangun dan melanggengkan dinasti politik dan politik dinasti.

Jadi, dagelan demokrasi yang sekarang dipertontonkan suatu saat pasti akan menuai badai dan tinggal menunggu waktu kehancuran demokrasi di republik ini. Bahkan, bukan tidak mungkin jika orde reformasi akan segera diganti oleh orde yang baru. ***

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat