unescoworldheritagesites.com

Problem Perberasan - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi,  Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)


Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi 

: Pesta demokrasi tidak hanya memicu sentimen kecurangan tapi juga  imbasnya terhadap harga beras yang cenderung terus melambung pada minggu pertama ramadhan tahun ini. Persoalan tentang pasokan juga tidak bisa lepas dari faktor cuaca dan iklim.
 
Terkait hal ini diprediksi lonjakan harga beras masih akan terjadi sampai April 2024 atau bersamaan dengan lebaran. Jadi tidak hanya karena faktor musiman selama ramadhan - lebaran tapi juga ada El Nino. Argumen yang mendasari karena El Nino mempengaruhi mundurnya musim tanam dan otomatis berantai terhadap musim panen. Fakta ini menjadi pembenar di balik lonjakan harga beras yang diyakini tertinggi dalam sejarah di republik ini.
 
Oleh karena itu, menjadi catatan menarik bagi Bulog pada khususnya dan pemerintah secara umum untuk antisipasi agar fluktuasi harga beras tidak semakin liar sebab  meresahkan, terutama yang tidak termasuk di daftar penerima bansos. Dampak sistemik dari El Nino juga tidak bisa terlepas dari fakta produksi beras di tahun 2023 yang turun
sekitar 1 juta ton. Imbasnya Indonesia harus impor beras 3 juta ton dari Vietnam.
 
Baca Juga: Optimalisasi Kaum Muda

Data BPS volume impor beras Indonesia di Januari 2024 mencapai 443 ribu ton senilai US$279,2 juta. Artinya, volume naik 82% dari impor Januari 2023 (year-on-year/yoy) yang hanya 243,66 ribu ton (nilainya naik 135% - yoy). Beras impor Januari 2024 paling banyak dari Thailand (237 ribu ton senilai US$153 juta). Selain itu, dari Pakistan (129 ribu ton senilai US$79,3 juta) dan Myanmar (41,6 ribu ton senilai US$23,98 juta), juga ada  gabungan impor dari negara-negara lain (35,4 ribu ton senilai US$22,92 juta).

Fakta lain yang juga perlu dicermati dari rendahnya pasokan yaitu nilai tukar pertanian cenderung semakin kecil. Tidak bisa dipungkiri bahwa biaya pertanian cenderung mahal mulai dari ketersediaan pupuk yang mahal dan langka, juga faktor benih sehingga fakta ini berdampak sistemik terhadap rantai pasok pertanian pangan.
 
Data BPS di tahun 2018 produksi beras 59,2 juta ton (produktivitas 52,03 juta ton), di  tahun 2019 perbandingan turun menjadi produksi beras 54,6 juta ton (produktivitas 51,14 juta ton), di tahun 2020 berubah produksi menjadi 54,65 juta ton (produktivitas 51,28 juta ton) dan selama tahun 2021 produksi mencapai 54,42 juta ton (produktivitas 52,26 juta ton).
 
Baca Juga: Iklim Solpol Pasca Pilpres

Konsekuensi dari penurunan produksi dan produktivitas terkait dengan luar pertanian di berbagai daerah yang terus menyusut karega tergerus untuk kepentingan perumahan dan permukiman. Dampak sistemik realitas ini diperkuat dengan kasus migrasi ke kota untuk mencari perubahan hidup dan kehidupan sehingga persawahan di pedesaan tidak banyak yang digarap dan juga tidak ada yang menggarap. Dampak sistemiknya adalah semakin tidak banyak yang tertarik bekerja di sektor pertanian pangan sehingga regenerasi tidak terjadi dan peralihan ke sektor informal cenderung semakin meningkat.
 
Jadi sangat logis jika kemudian sektor pertanian semakin ditinggalkan karena tidak menjanjikan dan fakta yang terjadi adalah terhambatnya regenerasi di sektor pertanian pangan. Kumulatif dari kasus ini adalah kuantitas dan kualitas pangan yang
dihasilkan, termasuk juga beras.

Padahal, kebutuhan konsumsi pangan beras cenderung semakin tinggi dan ketika aspek pasokan tidak mencukupi maka kebijakan impor dilakukan. Ironisnya, impor beras terus saja meningkat dan pastinya ini berdampak terhadap sebutan republik ini sebagai negara agraris dan pastinya swasembada pangan tidak bisa lagi dipertahankan. Ketika realita ini
semakin berat maka kebijakan pemerintah hanya bisa melakukan operasi pasar menjual beras murah ke publik. Belajar bijak perberasan maka kambing hitam perubahan iklim juga tidak bisa dibenarkan karena Thailand dan Vietnam masih sukses memproduksinya dan bisa ekspor ke sejumlah negara.
 
 
Jadi, pertimbangan ekonomi global dan politis juga harus dicermati karena pada Juli 2023 India melarang ekspor beras dan penyaluran beras bansos menjelang pilpres kemarin juga pastinya mengurangi pasokan beras dari Bulog. Data bantuan pangan beras digulirkan bagi 22 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Jumlah penerima bantuan pangan beras di tahun 2024 mengalami peningkatan 8% dari penerima tahun sebelumnya 21,3 juta KPM. ***
 
Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas  Muhammadiyah Surakarta
 
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat