unescoworldheritagesites.com

Sentimen Pajak - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)


Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi 

: Temuan yang menarik dari kasus RAT ternyata diduga menerima  gratifikasi selama 12 tahun. Rentang waktu yang cukup lama pastinya dan anehnya baru sekarang terungkap.

Kemana saja internal Kemenkeu sampai tidak melihat bau bangkai ini? Mengapa Gayus tidak menjadi pembelajaran dari berbagai kasus perpajakan selama ini? Hedonisme yang  ditampilkan  pejabat publik dan ASN memang sudah sepantasnya dikebiri agar tidak lagi memicu kecemburuan sosial ditengah himpitan hidup dan belit inflasi yang kian tinggi.

Hedonisme yang ditampilkan pejabat negara tersebut pernah disentil Presiden Jokowi di saat memberi pengarahan kepada sejumlah pejabat petinggi Polri pada 14 Oktober 2022 kemarin. Intinya, jangan sampai pamer kekayaan dan kemewahan yang kemudian justru memicu kecemburuan sosial, apalagi jika perolehan dari harta tersebut tidak sesuai atau tidak wajar, termasuk misalnya korupsi. Oleh karena itu beralasan jika dalam kasus RAT kemudian memicu kemarahan Menkeu Sri Mulyani yang akhirnya terlontar kalimat hal tersebut identik dengan “pengkhianat institusi”.

Imbas dari arogansi MDS sebagai anak RAT berdampak sistemik bagi pencopotan RAT dari jabatan strukturalnya sesuai pasal 31 ayat 1 PP no. 94 tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Hartanya Rp.56 miliar dan sangat fantastis dibandingkan kepatutan, kepantasan dan kewajarannya sebagai ASN di institusi perpajakan. Hartanya itu mendekati kekayaan Menkeu Rp.58 miliar, melebihi kekayaan Dirjen Pajak, Suryo Utomo (Rp.14,45 miliar) dan Presiden Jokowi (Rp.50,2 miliar). Menkeu lalu membubarkan klub motor Belasting Rijder yang dianggap mencoreng nama baik institusi perpajakan.

Yang juga menarik dicermati apakah motor-motor besar itu bodong atau tidak, jika ada diantaranya yang bodong maka pastinya akan menambah daftar negatif perilaku aparat perpajakan yang bersikap hedonis tapi tidak membayar pajak. Jadi rumor ada penjualan motor besar sebulan terakhir menjadi menarik dikaji. Artinya, jangan sampai penegasan
Menkeu justru dikebiri anak buahnya sekedar tampil patuh sesaat tapi kemudian berulah lagi saat situasi mereda.

Hal ini bukan tidak mungkin karena fakta kasus Gayus berulang dan berulang lagi. Jadi, hedonisme RAT buntut terkuaknya kekerasan yang dilakukan MDS pasti hanya kebetulan apes yang dialami sementara yang tidak apes masih banyak dan belum terungkap. Logi jika ada seruan membuka tabir ketidakwajaran semua harta pejabat, tidak cuma yang di Kemenkeu tapi juga semua pejabat negara dengan mengacu laporan LHKPN.

Apa yang terjadi dengan FS (divonis mati), TM (dituntut mati) dan RAT adalah bukti kewajaran, kepantasan dan juga kepatutan dalam memperoleh harta itu menjadi penting. Di sisi lain, institusi seharusnya cermat menilai kewajaran, kepantasan dan kepatutan harta yang dimiliki pegawai internal, termasuk tentu kewajiban pelaporan ke LHKPN. Jadi  pengawasan  secara internal menjadi penting untuk mereduksi kasus serupa nantinya sehingga tidak ada lagi gayus lainnya di institusi perpajakan khususnya dan tidak ada lagi cibiran pengkhianatan institusi seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani yang sangat
geram dari kasus RAT.

Kasus RAT sebagai imbas arogansi anaknya MDS bisa menjadi muara reformasi perpajakan secara konkret tidak sekedar manis di bibir saja dan semoga tidak ada lagi yang berperilaku meniru gayus yang lainnya. Pemecatan RAT tanpa uang pensiun  haruslah menjadi  pembelajaran bagi semua aparat di Kemenkeu bahwa menjaga kepercayaan terhadap perpajakan tidaklah mudah, sementara pajak menjadi pendukung pembiayaan pembangunan nasional yang selaras dengan etos kemandirian.

Dampak sistemik dari kebakaran jenggot yang terjadi di Kemenkeu menjadi tantangan terkait target penerimaan pajak di tahun 2023 dan pastinya ini menjadi berat, apalagi ada seruan di medsos untuk tidak membayar pajak akibat perilaku hedonisme dan tidak taat membayar pajak yang dipertontonkan aparat perpajakan yang kemudian hal ini memicu
kemarahan Menkeu Sri Mulyani yang menyebutnya sebagai ‘pengkhianat institusi’. Lalu bagaimana target perolehan pajak di tahun 2023? Padahal, pada tahun 2023 target pajak sebesar Rp.1.718 triliun, sementara penerimaan pajak sampai Januari 2023 Rp.162,23 triliun
(setara 9,4% dari target 2023) atau naik 48,6% dibanding Januari 2022.

Penerimaan pajak pada 2022 mencapai 115,6 persen dari target sehingga defisit APBN menjadi di bawah 3 persen. Kinerja itu tumbuh 34,3 persen atau setara 115,6 persen dari target penerimaan pajak tahun 2022. Realisasi pajak penghasilan (PPh) nonmigas yaitu Rp 920,4 triliun atau 122,9 persen dari target APBN. PPh migas sebesar Rp.77,8 triliun  melampaui target (120,4 persen). Realisasi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) Rp 687,6 triliun atau 107,6 persen dari target APBN. Penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak lainnya Rp. 31 triliun (tidak mencapai target karena hanya 95,9 persen). Ironisnya, kinerja ini harus tercoreng oknum orang pajak yang justru tidak membayar pajak dan berperilaku hedonis juga arogan. ***

* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat