unescoworldheritagesites.com

Kemenangan Macron Tak Sebanding Prospek Politik Marine Le Pen - News

Aufa Pradana S (AG Sofyan)

 
 
Oleh Aufa Pradana S
 
: Pemilu Prancis yang baru dilaksanakan 24 April lalu kembali memuluskan langkah Emmanuel Macron untuk menjadi presiden Prancis periode selanjutnya.
 
Macron terpilih kembali sebagai Presiden Perancis usai mengalahkan rival yang juga dikalahkannya pada pemilihan sebelumnya yakni Marine Le Pen dengan suara 58 persen berbanding 42 persen. 
 
Macron yang berasal dari Partai La République En Marche selama ini dikenal dengan kebijakannya yang berorientasi pada sektor perekonomian bisnis. 
 
 
Walaupun sukses meraih kemenangan di pemilihan kedua, kemenangan Macron dinilai kurang cemerlang. 
 
Rivalnya, Marine Le Pen berhasil mendulang suara hingga mencapai 42 persen. Perolehan suara  ini jauh lebih tinggi dibandingkan pemilihan lima tahun sebelumnya yang hanya mendulang 32 persen suara.
 
Meningkatnya popularitas Le Pen yang berhaluan sayap kanan ini tidak lepas dari kebijakan dalam negeri Macron yang dinilai condong ke kaum borjuis Prancis. 
 
 
Selama ini, Presiden termuda sepanjang sejarah Prancis ini dicap sebagai presidennya orang-orang kaya atau pemilik modal kuat oleh rakyat Prancis. 
 
Selama menjabat, Macron dirasa lebih pro terhadap kaum bermodal dengan kebijakan ekonomi dalam negerinya yang berorientasi pasar bebas. 
 
Ini bisa terlihat dari adanya program pajak solidaritas kekayaan yang dinilai meringankan beban pajak kaum bermodal di Prancis. 
 
 
Di sisi lainnya, rakyat kelas menengah dan pekerja Prancis justru tidak merasakan dampak kebijakan yang dibuat oleh Macron. 
 
Orientasi kebijakan Macron yang pro "orang kaya" tersebut memang tidak lepas dari latar belakang kariernya yang pernah menjadi bankir di salah satu perusahaan perbankan terbesar di dunia yaitu Rotschild. 
 
Sementara fakta yang ditemukan sang rival kuatnya, Le Pen, terjadi peningkatan jumlah suara Le Pen yang cukup signifikan karena dipengaruhi oleh banyaknya pendukung dari kalangan kelas pekerja dan menengah yang bermukim di pedesaan hingga kota kota kecil. 
 
 
Sejauh ini, Le Pen sendiri kerap membranding dirinya sebagai suara bagi orang Prancis yang terlupakan, dimana keadaan negeri berjuluk l’Hexagone (Heksagon) ini justru kontras dengan kebijakan Macron selama ini.
 
Salah stau wujudnya terlihat dari program kesejahteraan yang menjangkau masyarakat pinggiran Prancis. Le Pen selama ini memang dikenal sebagai politikus  sayap kanan ekstrem dengan pembawaannya yang menekankan pada "France First". 
 
Kebijakan populismenya terlihat dari melarang penggunaan hijab di Prancis. Le Pen beranggapan bahwa hijab hanya merupakan simbol seragam Islam yang perlu dilarang di komunitas Prancis. Le Pen bersikukuh bahwa hijab tanda kepatuhan terhadap interpretasi ekstremis anti-Barat dari keyakinan Muslim.
 
 
Tidak berhenti sampai disitu, politikus yang juga anak dari Jean-Marie Le Pen yang adalah pimpinan partai Front Nasional dan calon Presiden Prancis pada tahun 2002 ini juga ingin mengetatkan kebijakan imigrasi di Prancis. 
 
Le Pen beranggapan bahwasanya  kriminalitas di Prancis meningkat akibat adanya kebijakan yang membuat imigran leluasa masuk ke Prancis. 
 
Berbagai serangan terorisme di Prancis mulai dari penyerangan Bastille Day pada 2016 silam hingga yang terbaru kasus pemenggalan Samuel Paty menjadi alasan tokoh populisme sayap kanan ini kerap menyuarakan slogan anti Islam.
 
 
Maka dari itu, selama ini Le Pen dikenal sebagai tokoh populisme sayap kanan yang berkontribusi terhadap meningkatnya jumlah suara Partai sayap kanan Prancis dalam beberapa dekade silam.
 
Ayahnya yang merupakan pendiri partai Front Nasional Prancis (Rassemblement National) , Jean Marie Le Pen bahkan hanya mampu mengangkat jumlah suara Partai sayap kanan tersebut hingga 18% di parlemen Prancis.
 
Namun di tangan Marine Le Pen, jumlah suara Partai Front Nasional mampu meningkat drastis hingga yang tertinggi pada pemilu Prancis kemarin. Bahkan di parlemen eropa, Partai sayap kanan Le Pen unggul jumlah kursi dan suara dengan meraih 23,3 persen suara serta meraih sekitar 22-24 kursi. 
 
 
Angka tersebut unggul tipis dari partai LMRM besutan Macron dengan 22,1 persen suara dan  21-23 kursi. 
 
Kebangkitan Front sayap kanan Prancis tersebut tentunya tidak lepas dari peran Le Pen sendiri. Pembawaan populismenya  yang mirip dengan Trump turut andil dalam meningkatkan popularitas sayap kanan Prancis. ***
 
Aufa Pradana S, mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat