unescoworldheritagesites.com

Kota Humanis - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi (Ist)

 
Oleh Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
 
: Regenerasi kepemimpinan pasti terjadi dan DKI Jakarta menapaki
regenerasi berikutnya pasca akhir jabatan Anies Baswedan yang
digantikan oleh Heru Budi Hartono sebagai penjabat (Pj) Gubernur DKI
Jakarta. Pastinya sampai terbentuk kepemimpinan definitif sebagai
hasil pilkada 2024 mendatang akan ada sejumlah kebijakan yang
mendukung terhadap pembangunan. Fakta ini secara tidak langsung
menegaskan bahwa tantangan ke depan bagi Jakarta semakin komplek
termasuk merealisasikan komitmen ‘Wajah Baru Jakarta’ yang lebih
 
Urgensi ‘Wajah Baru Jakarta’ orientasinya tidak saja bersamaan dengan
pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kaltim tetapi juga
bagaimana ‘memanusiakan’ Jakarta untuk semua warganya, baik warga asli
atau pendatang tanpa terkecuali. Tentu ini bukan hal yang mudah bagi
Heru sementara persoalan klasik lainnya masih tetap saja menghantui
Jakarta, termasuk misalnya problem arus balik yang lebih besar
dibanding arus mudik setiap tahunnya sehingga hal ini memicu persoalan
sosial ekonomi. Selain itu, problem banjir juga tidak bisa diabaikan
karena butuh penanganan secepatnya dan tidak perlu ada politisasi
mengatasi masalah banjir untuk isu pilpres.
 
Baca Juga: Mudah dan Murah
 
Memang tidak mudah merubah ‘Wajah Baru Jakarta’, meskipun demikian
bukan tidak mungkin untuk sesegera mungkin memulainya, termasuk
misalnya realisasi perumahan DP 0 rupiah, pembersihan Kali Ciliwung
dan bagaimana komitmen untuk secepatnya membenahi dan membangun
Jakarta seperti cita-cita Megapolitan dan juga menjadikan Jakarta
lebih dari sekedar megapolitan tetapi juga kota humanis dan manusiawi
kepada warganya, tidak peduli warga asli Betawi maupun pendatang. Oleh
karena itu, salah satu problem pelik yang harus segera dibenahi Heru
yaitu penanganan problem migrasi, baik yang temporer ataupun hasil
dari arus balik pasca lebaran kemarin dan tahun berikutnya yang
jumlahnya terus meningkat yang sekaligus menunjukan kegagalan era
otda.
 
Persoalan riil dibalik dampak migrasi tahunan melalui arus balik pasca
Idul Fitri tidak berhenti di sini saja, tapi juga ancaman serius dalam
bentuk sosial-budaya di perkotaan. Dari beberapa temuan kasus konflik
yang pernah terjadi di Indonesia selama ini juga tersirat bahwa faktor
kecemburuan antara etnis pendatang dan etnis penduduk asli tidak bisa
dianggap remeh. Ini mengacu pada kecemburuan ekonomi, terutama jika
komunitas pendatang dirasa lebih sukses secara materi – ekonomi dan
meningkat status sosialnya dibanding dengan penduduk asli. Bahkan,
riak-riak konflik ini juga bisa mengarah ke unsur agama, misalnya
agama minoritas vs mayoritas. Selain itu, seremoni kebudayaan yang
berbeda juga bisa memancing konflik di daerah rantau. Artinya
riak-riak konflik di Jakarta yang sangat heterogen sangat besar dan
ini harus direduksi untuk mewujudkan ‘Wajah Baru Jakarta’ dan pastinya
ini tantangan berat bagi Heru sampai di tahun 2024 yang bersamaan
dengan hajatan besar pesta demokrasi yaitu pilpres.
 
 
Belajar bijak dari pembangunan di sejumlah negara industri maju maka
orientasi terhadap pembangunan memang harus mengakomodasi harapan dan
kepentingan semua warganya. Di satu sisi keberhasilan pembangunan
sejatinya merupakan keterpaduan semua insan di lingkup warga negara
dan di sisi lain keterlibatan itu mencakup hak dan kewajiban yang
menjadi bagian dari kepentingan kewarganegaraanya, termasuk misalnya
membayarkan pajak dan bentuk kepatuhan lainnya. Oleh karena itu
perhatian pemerintah pusat - daerah menjadi penting untuk mendukung
sukses pelaksanaan pembangunan nasional. ***
 
* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta
 
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat