unescoworldheritagesites.com

Ancaman Krisis 2023 - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)

 
Oleh Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
 
: Antisipasi krisis pangan 2023 menarik dicermati karena tidak hanya
berkepentingan atas produksi pertanian pangan tetapi juga aspek pemenuhan konsumsi pangan secara global. Argumen yang mendasari karena pangan terkait faktor pasokan dan konsumsinya.
 
Oleh karena itu, antisipasi krisis pangan harus memetakan dua faktor tersebut sehingga bisa diurai solusinya. Terkait ini maka identifikasi awal bisa dilihat dari faktor produksinya. Fakta menegaskan luas areal pertanian pangan cenderung terus menyusut setiap tahun. Di sisi lain, dengan penyusutan luas areal pertanian pangan tersebut justru tidak diimbangi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian pangan sehingga dipastikan produksinya tidak pernah mencukupi terhadap pemenuhan kebutuhan pangan nasional.
 
Penyusutan luas areal pertanian pangan dipicu oleh faktor semakin tingginya kebutuhan terhadap perumahan dan permukiman sebagai konsekuensi dari migrasi dan percepatan pertumbuhan kependudukan. Artinya, program KB bisa disebut gagal termasuk juga dari  kegagalan era otda yang awalnya diharapkan bisa membangkitkan geliat ekonomi bisnis di pedesaan sehingga mereduksi migrasi ke perkotaan.
 
Ironisnya meski sudah digulirkan dana desa dan dana kelurahan tapi faktanya migrasi ke perkotaan terus meningkat yang kemudian menjadikan sektor pertanian pangan semakin ditinggalkan. Fakta ini terlihat di arus mudik dan balik 5 tahun terakhir sehingga penduduk di perkotaan terus meningkat sementara di pedesaan cenderung berkurang. Imbas situasi ini maka tidak ada regenerasi di sektor pertanian pangan dan pastinya pertanian pangan semakin tidak menarik.
 
Baca Juga: Kota Humanis
 
Ironi lain ketika sektor pertanian pangan kian ditinggalkan yaitu nilai tukar petani justru semakin kecil dan dipastikan ini menjadikan sektor pertanian pangan semakin marginal. Belum lagi komponen pendukung di sektor pertanian pangan yang kian tidak bersahabat misal harga pupuk semakin mahal dan langka, ancaman hama dan juga fluktuasi musim hujan - kemarau yang berdampak sistemik terhadap hasil panen sehingga ini menjadikan sektor pertanian semakin tidak menarik untuk digarap karena tidak menjanjikan profit di masa depan.
 
Fakta lain yang juga menarik dicermati adalah ketidakseimbangan produksi di sektor  pertanian  ntuk memenuhi kebutuhan pangan justru ditutup dengan akumulasi impor pangan yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Padahal, situasi ini semakin rentan terhadap defisit neraca perdagangan.
 
Sinergi dari penjelasan diatas maka faktor kedua yaitu peningkatan konsumsi pangan di masa depan dipastikan akan terus ditutup dengan akumulasi impor pertanian pangan. Hal ini jelas akan semakin memarginalkan sektor pertanian pangan. Jadi jangan salahkan jika  kemudian cangkul saja harus diimpor karena pengrajin dalam negeri tidak tertarik untuk memproduksi cangkul karena memang sudah tidak ada lagi jengkal sawah yang dipacul. Padahal, jika situasinya terus seperti ini maka ancaman selanjutnya adalah inflasi pangan yang menjerat masyarakat karena daya belinya tergerus oleh tingginya harga pangan.
 
Ancaman harga pangan terhadap inflasi bisa terlihat dari inflasi September 2022 sebesar 1,17% meski deflasi bulan Oktober 2022 yaitu 0,11% sehingga inflasi tahun kalender (Januari-Oktober) 4,73%. Terkait hal ini yang justru harus diwaspadai adalah inflasi dari sisi pangan yang nilainya cukup besar 10,47% sehingga harus ditekan menjadi 5% atau maksimal 6% (per September) dan deflasi pangan pada Oktober yaitu 0,25%. Argumen yang mendasari karena inflasi yang terlalu tinggi tidak hanya berdampak pada masalah ekonomi tapi juga berdampak ke masalah sosial dan daya beli bakal menurun.
 
 
Data BPS per September ada 9 kelompok pengeluaran mengalami kenaikan, pertama: pakaian dan alas kaki (0,20%), kedua: perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah  tangga (0,16%), ketiga: perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga (0,35%), keempat: kesehatan (0,57%), kelima: transportasi (8,88%), keenam: rekreasi, olahraga dan budaya (0,31%), ketujuh: pendidikan (0,21%), kedelapan: penyediaan makanan dan minuman / restoran (0,57%) dan kesembilan: perawatan pribadi dan jasa lainnya (0,28%).
 
Fakta ini menjadi pembelajaran untuk melakukan antisipasi sedari dini agar ancaman krisis pangan bisa diminimalisasi demi kesejahteraan rakyat yang terjerat pandemi 2 tahun lalu. Fakta deflasi pangan per Oktober 2022 karena pemerintah gencar melakukan operasi
pasar dan sisa waktu 2 bulan sampai akhir 2022 menjadi tantangan untuk meredam inflasi pangan. ***
 
* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta
 
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat