unescoworldheritagesites.com

HIPMI dan UMKM - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)

 
Oleh Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
 
: Kilas balik perekonomian 2022 menjadi tantangan menatap perekonomian 2023. Fakta yang tidak bisa diabaikan yaitu adanya ancaman resesi dan
krisis pada 2023, sementara di sisi lain ada juga ancaman iklim sospol terkait pelaksanaan pilpres 2024 mendatang. Oleh karena itu, perlu ada antisipasi, termasuk tentunya alokasi pendanaan bagi pelaku usaha – bisnis dan UMKM agar bisa bangkit pasca pandemi.
 
Kalkulasi besarnya dana kebutuhan itu tidak mungkin hanya didapat dari APBN maka bantuan Bank Dunia menjadi penyelamat meski ada tuntutan terkait pembayaran bunga plus cicilan. Padahal penerimaan pajak kian berat. Terkait ini pemerintah menarik pajak atas  Perdagangan Melalui Sistem Elektronik – PMSE yang diatur di Perppu no. 1 tahun 2020  tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Pajak pertambahan nilai - PPN PSME sekitar Rp.10,4 triliun.
 
Berbagai potensi perpajakan pada dasarnya tidak tidak bisa terlepas dari ancaman ketidakmampuan dunia usaha – industrialisasi dalam membayar. Terkait ini data Dirjen Pajak per 21 April 2020 ada 12.062 perusahaan yang mengajukan permohonan keringanan pembayaran PPh pasal 21 atau pajak karyawan. Dari jumlah itu, 9.610 perusahaan telah
disetujui.
 
Data Kemenkop-UKM menegaskan bahwa 99% dari total pelaku usaha (setara dengan 64 juta pelaku usaha) berasal dari UMKM dengan penyerapan tenaga kerjanya 117 juta orang atau 97% dari total tenaga kerja. Terkait hal ini beralasan jika OJK turut berperan menyelamatkan UMKM dengan menerbitkan Peraturan OJK no. 11 dan 48 tahun 2022 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19. Model ini membantu 5,3 juta debitur UMKM dengan nominal kredit Rp.332 triliun di awal pandemi. Hal ini menjadi pembenar saat pemerintah juga berkepentingan menyelamatkannya saat endemi. Jadi Hipmi ke depan perlu mencermati realitas ini untuk juga berpartisipasi memacu geliat ekonomi bisnis secara berkelanjutan
 
Komitmen memacu geliat UMKM pasca pandemi, termasuk mengantisipasi resesi pada 2023 maka upaya pemerintah melalui kebijakan digitalisasi UMKM harus didukung agar UMKM go global juga berjalan sukses. Relevan dengan digitalisasi UMKM, pemerintah menargetkan pembiayaan digital Rp.16 triliun untuk UMKM pada 2024. Kebijakan ini merupakan skim
kerja sama antara pemerintah dan OJK yang didukung oleh Himpunan Bank Negara – Himbara. Terkait ini sampai Juli 2021 total pembiayaan Rp.2,45 triliun telah disalurkan ke UMKM dan total per tahun 2021 mencapai Rp.4,2 triliun.
 
Harapan kebijakan itu dimaksudkan agar terbangun optimisme di tahun 2023. Setidaknya lewat produktivitas akan terbangun kembali geliat ekonomi bisnis yang di 2 tahun lalu  sempat terpuruk (mati suri). UMKM tidak bisa mengelak sehingga mata rantai supply-demand tereduksi. Perhatian ke UMKM menjadi benar karena mata rantai terutama dari aspek ketenagakerjaan yang cenderung padat karya. Jadi, Hipmi juga harus terlibat memacu geliat ekonomi, termasuk UMKM agar bangun dan bangkit pasca pandemi dan bersiap menghadapi ancaman resesi 2023 nanti.
 
Mata rantai dari peran dan kontribusi UMKM ternyata cenderung mendominasi dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas. Paling tidak hal ini terlihat dari dominasi lebih dari 90 persen sebagai pelaku usaha dan juga pertimbangan dalam penyerapan kerja. Realita ini belum
mempertimbangkan sektor informal yang juga tidak bisa diremehkan. Mengacu realitas ini maka dampak sistemik dari sebaran virus corona jelas mereduksi kontribusi UMKM dan sektor informal, sementara pengaruhnya terhadap usaha menengah – besar juga tidak bisa diragukan.
 
Oleh karenanya beralasan jika kemudian Hipmi - pelaku usaha dituntut melakukan pemetaan terkait kerugian yang ada, setidaknya hal ini untuk bisa menentukan nominal kerugian dan kemampuan terhadap pendapatan. Selain itu, resesi di tahun 2023 juga harus diantisipasi dengan melihat peluang dan ancamannya. ***
 
* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta
 
 
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat