unescoworldheritagesites.com

RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Mendesak Diundangkan - News

KPK

JAKARTA: KPK sependapat dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), menggolkan diundangkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai RUU prioritas. Sebab, RUU itu dapat memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana, terutama korupsi. Karena dapat memaksimalkan pemulihan kerugian keuangan negara akibat korupsi sendiri dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"KPK setuju sekali RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi RUU Prioritas Tahun 2021 di DPR agar dapat memberikan efek dan manfaat positif dilakukannya asset recovery dari hasil Tipikor maupun TPPU," kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri.

Bagi lembaga antirasuah, penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada penerapan sanksi pidana penjara. Penegakan hukum tindak pidana korupsi akan lebih memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi jika aset dan harta benda yang diperoleh dengan cara ilegal dirampas untuk kepentingan negara. "Lebih memberikan efek jera bagi para pelaku Tipikor maupun TPPU apabila dilakukan perampasan aset hasil Tipikor yang dinikmati oleh para koruptor," tutur Ali. Aset-aset yang diperoleh melalui korupsi dan pencucian uang dapat dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. "Aset yang dirampas dari para pelaku berbagai tindak pidana korupsi dan TPPU dipergunakan untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat," katanya menambahkan.

Kepala PPATK Dian Ediana Rae sebelumnya meminta Kemenkumham segera menetapkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai regulasi. “PPATK meminta kesediaan Kemenkum HAM sebagai wakil pemerintah untuk mendorong ditetapkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai RUU Prioritas Tahun 2021 atau setidaknya RUU Prioritas 2022. Hal ini sejalan dengan Kerangka Regulasi RPJMN Tahun 2021 yang dibahas dan disepakati di Bappenas," kata Dian, Rabu (17/2/2021).

Berdasarkan hasil pemantauan PPATK upaya asset recovery atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal, khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya. "Termasuk di antaranya hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia," tutur Dian.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menilai RUU Perampasan Aset Tindak Pidana merupakan salah langkah pemulihan kerugian keuangan negara yang diakibatkan praktik korupsi. Semester pertama tahun 2020 lalu, menurut data ICW, total kerugian negara yang diakibatkan praktik korupsi mencapai Rp 39 triliun namun vonis pengenaan uang pengganti hanya Rp 2,3 triliun. "Ini menggambarkan betapa pentingnya mempercepat pengesahan dan pengundangan RUU Perampasan Aset. Fokus bukan hanya sekadar memenjarakan, juga memulihkan kerugian keuangan negara," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.

Dia juga menyatakan, dengan kehadiran regulasi perampasan aset, penegak tak perlu khawatir jika pelaku korupsi melarikan diri. Hal ini lantaran melalui regulasi perampasan aset yang akan menjadi objek dari penanganan perkara adalah aset milik pelaku tersebut. "Sistem pembuktian di persidangan pun akan berbeda, karena mengakomodir sistem pembalikan beban pembuktian," kata Kurnia.

Untuk itu, ICW tidak hanya mendorong pemerintah tetapi juga DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk memulai pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Regulasi tersebut penting untuk meminimalisir terjadinya tindak pidana suap dengan cara transaksi tunai. "Pola transaksi tunai tersebut menghambat penegak hukum untuk mendeteksi kejahatan itu," ujarnya.

Menurut Kurnia, berbagai regulasi itu merupakan suplemen untuk memaksimalkan upaya pemberantasan korupsi. Regulasi-regulasi itu menjadi suplemen bagi pemberantasan korupsi. Hanya, ICW ragu pemerintah bakal membenahi regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi, seperti RUU Perampasan Aset. Hal ini mengingat arah politik hukum pemerintahan saat ini justru melemahkan institusi pemberantasan korupsi. Hal itu salah satunya tercermin dengan revisi UU KPK. "ICW ragu pemerintah akan membenahi regulasi yang mendukung upaya pemberantasan korupsi, seperti membahas Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebab, selama ini arah politik hukum era Presiden Jokowi memang terfokus hanya untuk melemahkan institusi pemberantasan korupsi, salah satu wujud konkretnya adalah merevisi Undang-Undang KPK," katanya. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat