unescoworldheritagesites.com

DPR Dan Pemerintah Wajib Tindaklanjuti Putusan MK - News

MK

JAKARTA: Kendati memunculkan kontroversi pada berbagai kalangan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang inkonstitusional bersyarat dinilai pakar-pakar hukum harus ditindaklanjuti pemerintah.

Mantan hakim MK Hamdan Zoelva menilai putusan MK itu diambil agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. “Sekalipun MK memutus untuk membatalkan sepenuhnya UU Ciptaker, hal itu tak otomatis memberlakukan undang-undang lama. Menurut dia, pemberlakuan undang-undang lama jika UU Ciptaker dibatalkan, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Ada banyak problematik yang akan timbul, jika hanya membatalkan UU CK (Cipta Kerja). Karena dengan pembatalan itu, tidak otomatis UU lama berlaku," kata Hamdan, Sabtu (27/11).

Namun dia mempertanyakan segala produk hukum atau UU lain yang masuk paket aturan hukum dalam UU Ciptaker. Hal itu problematika, sebab MK tak bisa sepenuhnya memuat secara utuh dalam putusannya. Oleh karena itu,  pemberlakuan UU lama jika UU Cipktaker dibatalkan, hanya bisa dilakukan dengan proses pembentukan atau revisi UU baru. "Menjadi sangat tepat diserahkan kepada pembentukan UU, sekaligus menata kembali dengan revisi UU yang akan datang," katanya.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra  mengatakan potensi kekacauan terjadi kalau MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja secara otomatis inkonstitusional secara permanen atau bila tidak direvisi dalam jangka waktu dua tahun tersebut. Artinya, bila UU Cipta Kerja tak diperbaiki, semua UU yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja secara otomatis juga berlaku kembali.

MK pun melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja selain yang sudah ada. MK juga melarang pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan baru yang berdampak luas yang didasarkan atas UU Cipta Kerja selama UU itu belum diperbaiki.

Bagi Yusril, putusan MK itu mempunyai dampak yang luas terhadap pemerintahan Jokowi yang masih tiga tahun lagi. "Kebijakan-kebijakan super cepat yang ingin dilakukan Pemerintah Presiden Jokowi sebagian besar justru didasarkan kepada UU Cipta Kerja itu. Tanpa perbaikan segera, kebijakan-kebijakan baru yang akan diambil Presiden otomatis terhenti. Ini berpotensi melumpuhkan pemerintah yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi," terang dia.

Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Presiden Jokowi kecuali bekerja keras merevisi UU Cipta Kerja. Pemerintah, menurut Yusril, dapat menempuh dua cara untuk itu. Pertama, memperkuat Kementerian Hukum dan HAM sebagai law centre dan menjadi leader dalam merevisi UU Cipta Kerja. Kedua, pemerintah dapat segera membentuk Kementerian Legislasi Nasional yang bertugas menata, mensinkronisasi dan merapikan semua peraturan perundang-undangan dari pusat sampai ke daerah.
 

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti juga mengatakan, DPR dan pemerintah wajib mempelajari pertimbangan putusan MK dalam uji formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang UU Ciptaker. Dengan demikian, DPR dan pemerintah dapat memenuhi seluruh asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik secara subtantif dalam memperbaiki UU Cipta Kerja sebagaimana putusan MK. "DPR dan pemerintah wajib mempelajari baik-baik pertimbangan MK untuk memperbaiki proses legislasi dalam memperbaiki UU Cipta Kerja seperti yang diperintahkan oleh MK. Sehingga semua asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus dipenuhi secara substantif. 2 tahun bukan waktu yang sedikit untuk memulai kembali proses legislasi ini," kata Bivitri.

Bivitri menilai putusan MK itu patut diapresiasi karena MK mengonfirmasi buruknya proses perumusan UU Cipta Kerja. Bila tidak ada putusan ini, maka praktik ini bisa mendapat legitimasi sehingga mungkin akan terus berulang. "Namun demikian, bila dilihat dari amar putusan dan adanya empat dari sembilan hakim yang berpendapat berbeda, putusan ini memang seperti jalan tengah," ungkapnya.

Bivitri menyampaikan, jalan tengah ini menimbulkan kebingungan karena putusan ini mengatakan sebuah proses legislasi yang inkonstitusional. Artinya sebenarnya sebuah produk yang dihasilkan dari proses yang inkonstitusional ini juga inkonstitusional, sehingga tidak berlaku. "Tetapi putusan ini membedakan antara proses dan hasil. Sehingga yang dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi UU-nya tetap konstitusional dan berlaku," katanya.

Dia menambahkan, tidak mungkin MK bisa menolak lagi permohonan uji formil ini karena memang segala cacat formil yang didalilkan para pemohon cukup sederhana untuk dibuktikan di persidangan. Bahkan cukup kasat mata bagi publik, seperti tidak adanya naskah akhir sebelum persetujuan. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat