unescoworldheritagesites.com

Ketua KPK Firli Bahuri Bertanya Mengapa Korupsi Masih Merajalela - News

: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai saat ini telah melakukan penangkapan dan menetapkan tersangka 1.389 orang mulai pejabat negara Anggota DPR/DPRD, Walikota, Bupati, Gubernur, Menteri hingga dari pihak swasta. Pun demikian, korupsi jangankan hilang malah terus sistemik dan merajalela.

Ketua KPK Firli Bahuri mempertanyakan mengapa korupsi masih merajalela. Regulasi dinilai sudah cukup menangkalnya. Jumlah Aparat Penegak Hukum (APH) yakni KPK, Kejaksaan dan Kepolisian yang tersebar di seluruh Indonesia sudah mencukupi. Hanya saja dia melihat APH belum bekerja dengan efektif sehingga masih ada kepala daerah yang ditangkap oleh KPK. Selain itu, belum hilang pula sikap permisif terhadap korupsi atau tidak sempurnanya pondasi sikap antikorupsi di setiap sanubari anak bangsa, termasuk APH plus hakim.  “Kita masih menganggap korupsi itu menerima dengan permisif, bahkan ada yang mengatakan ah itu budaya,” kata Firli di Bandar Lampung, Sabtu (23/4/2022).

Budaya yang menganggap lumrah korupsi ini terjadi pula di kalangan pejabat negara. Bahkan budaya upeti masih terjadi hingga saat ini di kalangan pejabat. “Kepala Dinas setor ke Bupati, mau dapat proyek DPR gak mau ketok kalau seandainya tidak ada uang ketok palu. Kalau (sikap permisif dan menganggap korupsi adalah budaya) maka siap-siaplah Bupati, Walikota, Kepala Dinas, Gubernur nunggu giliran ditangkap KPK,” Firli mengultimatum.

Menurut Firli upaya pemberantasan korupsi seharusnya menyentuh kamar-kamar kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, yudikatif, eksekutif dan partai politik. Yaitu adanya kesadaran bersama bahwa korupsi itu merupakan musuh bersama sehingga manfaat dan efek baiknya dapat dilihat oleh rakyat banyak. Sebab, pemberantasan korupsi itu sendiri tidak hanya mengenai penindakan, tetapi juga pencegahan korupsi dan pendidikan antikorupsi.

Firli juga menyebutkan, pemberantasan korupsi bukan sesuatu yang misterius dan irasional yang membuat segala tindakan tampak seperti fiksi dan sia sia. Hal ini karena korupsi merupakan hal yang nyata dan ada di sekitar kita. "Bagi saya pemberantasan korupsi itu rasional,  kalkulatif, terukur secara matematis dan dapat dijelaskan berdasar kerangka teoritis dan aplikasi teknis. Penanganannya pun nyata tidak utopia. Yang penting  mendudukan perkara korupsi dan penangananya sebagai sesuatu yang rasional, dan hal ini harus bisa kita jelaskan di hadapan publik seperti apa yang beberapa pekan lalu telah saya sampaikan di hadapan para yang terhormat anggota Komisi III DPR RI," kata Firli.

Dia mengatakan tak tertutup kemungkinan terdapat kekeliruan terkait beberapa konsepsi pemberantasan korupsi di masa lalu yang sudah menjadi pendapat umum. Salah satunya, selama ini pemberantasan korupsi hanya berkaitan pada pemberitaan sensasional mengenai penindakan. Padahal, katanya, sebagaimana amanah UU dan cara kerja sistem bernegara, pemberantasan korupsi adalah perlindungan bagi sistem itu sendiri, bukan justru merusaknya. Manusia kerja terbatas sementara sistem bekerja terus menerus tanpa henti 7 hari 24 jam.

"Tiap penanganan terhadap tindakan koruptif haruslah melahirkan perbaikan terhadap sistem, bukan justru merusak kerja sistem karena pada sistemlah kita berharap segala abuse dan penyimpangan dalam dirinya akan dikoreksi sendiri oleh sistem. Sistem yang baik adalah sistem yang menyadari celah deviasi akibat sifat dasar manusia yang bebas, namun mampu menutup tiap jengkal dari celah tersebut sehingga tak ada ruang bagi manusia untuk melampaui sistem, apalagi merusaknya," katanya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat