unescoworldheritagesites.com

Buku di Era Now - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi, Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)


Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi 

: Renungan di akhir tahun 2023 yang menarik adalah berkaitan dengan
rendahnya minat baca di era now. Ironi ini tidak hanya menyasar generasi milenial tapi juga lintas generasi sehingga menjadi tantangan yang sangat pelik. Oleh karena itu,  menarik dicermati fakta semakin redupnya minat baca karena berdampak sistemik terhadap industri penerbitan di era now tidak hanya di mayoritas negara miskin
berkembang tapi juga semakin jamak di negara industri maju.

Fenomena ini tentu menjadi tantangan yang tidak mudah terutama bagi capres -  cawapres karena berkaitan dengan membangun kecerdasan bangsa. Sejarah menegaskan bahwa salah satu upaya membangun bangsa adalah dengan membangun di sektor SDM yang salah satunya dengan memacu minat baca. Argumen yang mendasari tidak bisa terlepas dengan urgensi membaca yang akan membuka jendela dunia sebab ini akan memberikan pencerahan secara semesta tanpa terkecuali.

Ironisnya, rendahnya minat baca justru dibenturkan dengan semakin pesatnya informasi di semua lapisan. Padahal, banjir informasi yang ada seharusnya memberikan manfaat di semua aspek, termasuk tentunya memungkinkan untuk memilih dan memilah informasi yang baik dan benar, bukan sekedar hoax. Jadi, di era global informasi seharusnya minat
baca semakin tinggi, bukan justru sebaliknya.

Oleh karena itu, fakta rendahnya minat ini menjadi peluang dan tantangan bagi capres –
cawapres untuk memacu kembali sebab ini akan berdampak sistemik terhadap  pembangunan SDM nasional dan imbasnya memberi kepastian terhadap arah pembangunan nasional. Di sisi lain, perkembangan informasi di era now juga semakin meningkatkan persaingan pada industri informasi dan penerbitan. Jadi, ada dualisme di balik pesatnya era informasi dan tentunya fakta ini harus dicermati.

Baca Juga: Batik dan Kerakyatan

Fakta tersebut memberi gambaran betapa persaingan di dunia informasi saat ini semakin ketat dan kompleks sehingga hal ini menguatkan bahwa persaingannya tidak saja dalam bentuk generic competition tapi juga product form competition. Oleh karena itu, buku di era now tidak hanya bersaing dengan sesama buku untuk bisa hadir di tangan pembaca, tapi juga bersaingan dengan gadget yang pastinya lebih menarik, pastinya variatif dan atraktif di semua ruang yang tersedia.

Jadi, jangan salahkan gadget jika kemudian secara perlahan justru bisa mematikan
kehadiran buku. Fakta ini secara tidak langsung menjadi peluang dan tantangan termasuk misalnya pemberian insentif kepada penerbit. Data memberikan gambaran beberapa provinsi yang masih dominan dengan kehadiran penerbit, misal di DKI Jakarta 1.949 penerbit (19,18%), Jawa Barat 1.770  penerbit (17,42 %), Jawa Timur 1.379  penerbit  (13,57%), Jawa Tengah 993 penerbit (9,77 %) dan Yogyakarta 918  penerbit (9,04  %). Sejumlah provinsi lain tentu menjadi pertanyaan berkaitan dengan potensi penerbitnya dan jumlah terbitannya.

Belajar bijak dari matinya media cetak maka perlu antisipasi terhadap kemungkinan yang sama terhadap nasib buku. Betapa tidak, di era now kebutuhan terhadap paperless justru semakin meningkat dan pastinya ini mengurangi kebutuhan konsumsi terhadap kertas dan kemudian ini juga berpengaruh terhadap proses produksi buku secara umum.

Selain itu, di era now juga semakin menguat penetrasi digital sehingga kehadiran e-paper semakin masif termasuk juga versi pdf dari semua jenis dan tipe buku. Hal ini semakin diperkuat dengan layanan digitalisasi di semua lini kehidupan dengan didukung eksistensi internet yang tarifnya semakin murah dan aksesnya semakin cepat menyasar di semua kawasan, baik di perkotaan juga pedesaan.

Baca Juga: Teknologi Menggantikan SDM

Ironi di balik penerbitan buku justru diperparah oleh pandemi 2 tahun kemarin yang jelas ini mereduksi semangat penerbit untuk menerbitkan berbagai bukunya, baik itu fiksi dan juga non-fiksi. Terkait ini, data IKAPI menegaskan bahwa di saat pandemi ternyata 28% penerbit tidak menerbitkan buku dan hanya 20% yang masih menerbitkan buku meskipun di bawah kapasitas produksinya.

Fakta ini harus menjadi pembelajaran buat semua untuk terus memacu penerbitan buku, baik secara kuantitas dan kualitas, sehingga minat baca buku juga tetap terjaga meski
terancam oleh kehadiran digitalisasi di semua kehidupan. Oleh karena itu, ada tantangan ke depan agar dunia tidak semakin terpuruk akibat minat baca yang cenderung terus menurun. ***

* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat