unescoworldheritagesites.com

Iklim Sospol dan Kinerja Perbankan - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi, Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)


Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi 

: Pilpres pada khususnya dan pesta demokrasi pada umumnya menjadi muara untuk bisa menciptakan regenerasi kepemimpinan dengan dukungan legitimasi kekuasaan. Terkait hal ini, tidak bisa dipungkiri bahwa semua kegaduhan yang terjadi, terutama sejak hasil putusan MK beberapa waktu lalu berdampak sistemik terhadap geliat ekonomi bisnis di semua sektor, termasuk di perbankan.

Oleh karena itu, prospek ekonomi pasca pilpres di 2024 menjadi catatan menarik untuk memacu pertumbuhan ekonomi secara sistematis dan berkelanjutan demi peningkatan
kesejahteraan. Hal ini menegaskan bahwa wait and see terkait pilpres menjadi benar adanya dan semua berharap ada tahapan yang aman di semua proses pelaksanaan pilpres pada khususnya dan pesta demokrasi pada umumnya.

Optimisme akhir tahun 2023 kemarin untuk menyambut tahun politik pilpres 2024 juga ditunjukan dengan membaiknya kredit konsumer, misal kasus di Bank Mandiri karena kenaikan 12,04% menjadi Rp.109,3 triliun. Sebagai perbandingan untuk kredit korporasi naik 9,55% pada kuartal III-203 mencapai Rp.449 triliun yang pasti menegaskan kondisi yang baik di akhir tahun 2023. Terkait ini, dampak sistemiknya adalah pencapaian laba bersih di kuartal III-2023 sebesar Rp.39,1 triliun sampai September 2023 (berarti naik 27,4%) sehingga menunjukan tren yang membaik terkait kondisi perekonomian bisnis.

Baca Juga: Paradigma Buku

Terkait ini, BI dan pemerintah berkepentingan untuk menjaga iklim menuju pilpres 2024
tetap kondusif. Jika dicermati sebenarnya realitas iklim sospol semakin memanas setelah keluarnya putusan MK dan pilpres pada 2024 menarik dicermati karena pasti berdampak terhadap geliat ekonomi bisnis. Hal ini menjadi tantangan ketiga kandidat capres untuk meredam situasinya agar tidak semakin berfluktuasi dan memicu sentimen negatif.

Peran BI tentu menjadi taruhan untuk menjaga kinerja perbankan sehingga beralasan di Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 20-21 September 2023 menyepakati untuk konsisten mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di 5,75%, suku bunga Deposit Facility  5,00%, dan suku bunga Lending Facility  6,50%. Hal ini tidak bisa terlepas dari
komitmen stabilitas inflasi pada kisaran 3,0±1% di tahun 2023 dan 2,5±1% pada 2024.

Artinya, sinergi antara sektor keuangan dan moneter menjadi penting bukan saja untuk menjamin kepastian ekonomi bisnis bergerak tapi juga kepastian terhadap daya beli bagi publik untuk tetap bisa berkonsumsi. Dari sini terlihat ada kepentingan terus menjaga stabilitas ekonomi – moneter – keuangan, termasuk juga makroprudensial agar kepastian iklim sospol tetap terjadi dan tidak memicu perilaku wait and see yang rentan terhadap semua ketidakpastian menuju pilpres 2024.

Baca Juga: Haji dan Problematika

Faktor lain yang tidak boleh diabaikan adalah menjaga stabilitas nilai tukar sehingga hal ini menjadi tantangan sektor perbankan, terutama peran dari BI. Meski demikian, tentu juga berkepentingan untuk terus memantau tingkat suku bunga agar geliat perekonomian tetap bisa berjalan dan kondusif.

Bagaimanapun juga, tingkat suku bunga juga berkaitan dengan kepastian berusaha dan juga relevansinya terhadap pertumbuhan ekonomi untuk memacu kekuatan ekonomi makro secara berkelanjutan, termasuk juga pengaruhnya ke laju inflasi sebagai dampak dari perputaran uang (jumlah uang yang beredar). Realita ini menegaskan adanya kepentingan untuk menjaga sinergi makro ekonomi, tidak saja dari aspek moneter tapi juga fiskal dan campur tangan BI sebagai otoritas yang terkait.

Prediksi pertumbuhan ekonomi 2024 di kisaran 4,5-5,3% dan stimulus ke semua sektor juga perlu dipertimbangan, tidak hanya di perbankan, meski ada rumor sejumlah menteri mundur. Harapannya yaitu bisa menjaga ketahanan sistem keuangan, terutama di sektor perbankan dan ini misal bisa terlihat di rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio - CAR) di Juli 2023 sebesar 27,44%. Selain itu, perlu mempertimbangkan risiko kredit yang terlihat dari rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan - NPL) sebesar 2,51% (bruto) dan 0,80% (neto).

Baca Juga: Dualisme Demokrasi

Di satu sisi, likuiditas perbankan per Agustus 2023 ditunjukan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 6,24% dan di sisi lain juga perlu untuk mempertimbangkan mitigasi di balik ketidakpastian, terutama ancaman risiko ekonomi domestik - global yang mengancam makro ekonomi keuangan - pertumbuhan ekonomi, terutama tahun 2024 yang ada hajatan pesta demokrasi, termasuk tentu pilpres. Semoga kinerja makro ekonomi  semakin membaik di 2024 bersamaan dengan lahirnya Presiden baru untuk 5 tahun kedepan sehingga bisa menjadi stimulus bagi kinerja perbankan pada khususnya dan ekonomi – bisnis pada umumnya. ***

* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat