unescoworldheritagesites.com

Kemewahan Vs Keresahan - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)


Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi 

: Sebulan terakhir menjelang ramadhan ini publik dipertontonkan arogansi
pejabat negara yang berperilaku hedonis karena pamer kekayaan di medsos yang kemudian ini memicu sentimen. Yang menjadi pertanyaan apakah tidak boleh menjadi orang kaya di republik ini? Tentu boleh dan sah saja semua warga negara menjadi kaya karena logika hidup di dunia tentu ingin semuanya merasakan kenikmatan dan kemewahan yang pastinya
harus didukung dengan ketersediaan penghasilan dan finansial.

Begitu juga sebagai ASN bisa menjadi kaya tetapi harus memahami kewajiban dan  kepatuhan untuk melaporkan harta ke LHKPN sehingga rasionalitas dari perolehan hartanya bisa dipertanggungjawabkan dan atau tidak menyalahi regulasi, apalagi memperkaya diri dengan korupsi. Ironisnya di sejumlah persidangan FS kemarin terbukti tidak ada  penyampaian laporan ke LHKPN di rentang waktu yang ada. Oleh karena itu, ketika terkuak
kasus serupa di RAT maka bisa disimpulkan bahwa pelaporan harta ke LHKPN bisa disiasati, bukannya justru ditaati.

Dampak sistemik dari kasus RAT maka muncul meme di medsos untuk tidak perlu taat membayar pajak karena faktanya uang pajak justru memperkaya aparat perpajakan yang kemudian juga dilanjutkan dengan ketidaktaatan aparat pajak untuk membayar pajak dan juga tidak melaporkan hartanya ke LHKPN secara jujur dan transparan. Apa yang terjadi jika kemudian seruan boikot membayar pajak semakin berlanjut, sementara pemerintah  membutuhkan dana segar dari perpajakan untuk pendanaan pembangunan. Pajak sangat penting untuk mendukung kemandirian pendanaan dan di sisi lain tentu akumulasi utang harus direduksi karena ancaman pembayaran cicilan plus bunga yang terus memberatkan

Baca Juga: Urgensi Pendataan

Data Kemenkeu utang kita Rp.7.733,99 triliun selama 2022 (rasio terhadap PDB 39,57 persen). Kenaikan utang dipicu transaksi pembiayaan berupa penerbitan dan pelunasan surat berharga negara (SBN), penarikan dan pelunasan pinjaman, serta perubahan nilai tukar. Komposisi utang didominasi SBN Rp.6.846,89 triliun (88,53 yang didominasi BI sedangkan
oleh investor asing terus menurun sejak 2019 mencapai 38,57%, lalu di akhir 2021 menjadi 19,05% dan per Desember 2022 hanya 14,36%) dan sisanya 11,47 persen yakni pinjaman dalam negeri (Rp.19,67 triliun) dan pinjaman luar negeri (Rp.867,43 triliun). Jumlah utang itu didominasi mata uang rupiah yaitu 70,75% sebagai cara untuk mereduksi volatilitas yang rentan terhadap nilai tukar – kurs.

Penerimaan pajak pada 2022 mencapai 115,6 persen dari target sehingga defisit APBN menjadi di bawah 3 persen. Kinerja itu tumbuh 34,3 persen atau setara 115,6 persen dari target penerimaan pajak tahun 2022. Realisasi pajak penghasilan (PPh) nonmigas yaitu Rp 920,4 triliun atau 122,9 persen dari target APBN. PPh migas sebesar Rp.77,8 triliun  melampaui target (120,4 persen). Realisasi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) Rp 687,6 triliun atau 107,6 persen dari target APBN. Penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak lainnya Rp. 31 triliun (tidak mencapai target karena hanya 95,9 persen). Ironisnya, kinerja ini harus tercoreng oknum orang pajak yang justru tidak membayar pajak dan berperilaku hedonis juga arogan.

Data BPS persentase penduduk miskin per September 2022 (9,57 persen) atau naik 0,03 persen poin terhadap Maret 2022 dan turun 0,14 persen poin terhadap September 2021. Jadi, jumlah penduduk miskin per September 2022 sebesar 26,36 juta orang, naik 0,20 juta orang terhadap Maret 2022 dan menurun 0,14 juta orang terhadap September 2021. Rincian persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2022 sebesar 7,50 persen, naik 7,53 persen pada September 2022 dan persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2022 yaitu 12,29 persen, naik menjadi 12,36 persen pada September 2022.

Baca Juga: Syariah dan Potensinya Baca Juga: Syariah dan Potensinya

Data BPS pengangguran di Indonesia 8,4 juta orang pada Agustus 2022, porsinya 5,86% dari total angkatan kerja. Rincian usia dari kelompok usia 20-24 tahun (2,54 juta orang, setara 30,12% dari total), usia 15-19 tahun (1,86 juta jiwa atau 22,03%), usia 25-29 tahun (1,17 juta jiwa setara 13,84%), usia 30-34 tahun (608,41 ribu jiwa setara 7,22%),
dan usia 60 tahun ke atas (485,54 ribu jiwa setara 5,76%). Jumlah penduduk usia kerja 209,42 juta jiwa per Agustus 2022 dan yang termasuk angkatan kerja 143,72 juta jiwa. Jadi, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) nasional 68,63%, dengan rincian TPAK laki-laki
83,87% dan TPAK perempuan 53,41%.

Mencermati arogansi dan hedonisme yang dipertontonkan sebagian oknum ASN secara tidak langsung memicu kecemburuan sosial karena realitas ketimpangan masih tinggi dan hal ini menjadi alasan Presiden Jokowi untuk memperingatkan semua aparat untuk tidak  bermewah-mewahan, pamer kekayaan dan berperilaku hedonisme. Hal ini disampaikan di depan sejumlah aparat Kepolisian yang bersamaan dengan pengangkatan TM. Sekali lagi empati menjadi penting dalam kehidupan sosial karena pandemi baru usai yang juga berdampak sistemik terhadap akumulasi pengangguran, kemiskinan dan PHK.

Fakta ini menjadi ironi jika kemudian para aparat dan ASN yang notabene dibayar dari pajak oleh rakyat justru memamerkan keperilakuan yang tidak patut dicontoh, apalagi justru tidak membayar pajak, sementara wajib pajak terus dipaksa patuh - taat sehingga bisa disebut sebagai orang bijak yang taat pajak. Semoga kasus RAT menjadi muara membuka tabir kepongahan yang terjadi di Kemenkeu sehingga tidak mencederai kepercayaan rakyat. ***

* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat