unescoworldheritagesites.com

Mengukur Taktik Zig Zag Jokowi di Pusaran Urusan Ketum Parpol - News

Justino Djogo, MA., MBA (AG Sofyan )

OlehJustino Djogo, MA., MBA
 
: Hampir setiap pergerakan Ketum Parpol dan tokoh nasional mendampingi Presiden Jokowi selalu dikaitkan dengan suksesi kepemimpinan nasional 2024 nanti. Contohnya, mengapa tiba-tiba nama Ganjar Pranowo seakan terbenam elektabilitasnya beberapa hari terakhir ini? 
 
Padahal beberapa pekan silam trio Jokowi, Prabowo dan Ganjar tampak akrab di hamparan sawah di salah satu dusun di Jateng. Apakah hanya karena penolakannya terhadap timnas U 20 Israel yang berbuntut gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan kelas dunia ini? Saya kira tidak.
 
Mungkin saja internal PDI Perjuangan (PDIP)  sudah menetapkan Bakal Calon Presiden (Bacapresnya) yang bisa saja bukan seperti yang diharapkan Pak Jokowi. Atau juga persis seperti yang diharapkan Jokowi. 
 
 
Meskipun hanya sebagai petugas dan alat partai, toh Jokowi sudah menjadi Presiden dua periode. 
 
Dalam arena politik nasional, sebagai presiden, beliau sudah ditasbihka  menjadi pemimpin Indonesia seluruh lapisan bukan miliknya PDIP saja.
 
Jokowi bisa saja bertransformasi menjadi sosok yang tidak hanya dalam bayangan Ibu Megawati dan PDIP. Beliau tentu sudah terkontaminasi secara positif gagasan besar untuk bangsa ini, meskipun kadang tidak sejalan dengan idealisme PDIP. 
 
Jadi, kalaupun secara kasat mata, persaingan internal PDIP terlalu jelas antara Puan Maharani dan Ganjar Pranowo dan tentu saja para pendukungnya, ini pun dicerna Jokowi secara multi perspektif. Bagaimanapun juga, Jokowi adalah kader PDIP. Bukan kader parpol lain.
 
 
Jokowi di Pusaran Urusan Ketum Parpol
 
Mungkin karena alasan ini Pak Jokowi sepertinya mulai memalingkan perhatian ke KIB yang berisikan Golkar, PAN dan PPP. Selain itu ada Gerindra dan PKB. 
 
Jokowi di ujung masa kepresidenannya benar-benar berlagak tidak seperti para pendahulunya seperti SBY atau Megawati yang lebih memberikan hak khusus bagi para ketum parpol untuk menentukan presiden dan wakil presiden berikutnya. 
 
Beliau tentu punya alasan. Bisa saja salah satunya agar program yang belum tuntas dapat dilanjutkan oleh sang penerusnya. Sebut saja pembangunan IKN, tol lintas Sumatera, kereta api super cepat yang besar kemungkinan belum tuntas setelah beliau turun takhta kepresidenan. Pandangan atau bahkan kecurigaan seperti ini tak sepenuhnya benar. Karena apapun program presiden yang bermanfaat bagi rakyat Indonesia tentu akan dilanjutkan. Jika hanya berdampak bagi segelintir elite saja maka akan diberhentikan sang penerusnya.
 
 
Yang lebih membuat kita bisa saja terkecoh adalah Pak Jokowi bukanlah ketum parpol. Dan apalagi, parpol beliau berteduh adalah PDIP yang hampir pasti mencalonkan kadernya sendiri, daripada ikut dalam gerakan hingar bingar pembentukan Koalisi Parpol.
 
Belum Berkompetisi Sudah Berkoalisi
 
Keunikan pemilu di Indonesia adalah slogan koalisi parpol sebelum pemilu. Pada mulanya saya paham bahwa konteksnya adalah syarat minimal pencapresan minimal 20 persen suara diperoleh pada Pemilu sebelumnya, 2019 lalu. 
 
Dengan demikian, hanya PDIP yang dapat mengajukan capres cawapresnya sendiri. Parpol lain memang harus mencari teman untuk memenuhi syarat 20 persen itu.
 
 
Sampai disini, kita sepakat, meskipun beberapa aktivis mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar setiap parpol dapat mencalonkan kadernya menjadi capres dalam pemilu 2024 nanti. MK tidak bergeming dan menolak judicial review ini. Tetap 20 persen. 
 
Saya bahkan terpana dan menyebut demokrasi unik seperti ini hanya ada di Indonesia. Kita belum sampai menyebut kematian demokrasi di dalan tubuh parpol.
 
Kita ingat di awal reformasi pasca Pak BJ Habibie, dalam pemilu perdana, kalau tidak salah terdapat 4 pasangan capres dan cawapres. Sepertinya jumlah paslon capres- cawapres paralel dengan 48 parpol peserta pemilu.  Rakyat diberi banyak pilihan dan parpol berjibaku meramaikan kontestasi pimpinan nasional ini.
 
Saya anggap sebagai kemunduran demokrasi di tahun 2014 dan 2019 ketika rakyat Indonesia yang melebihi 270 juta orang hanya diberikan 2 paslon capres dan cawapres, Jokowi vs Prabowo sebagai dua figur utama.
 
 
Setelah Jokowi terpilih 2014, ramai-ramai para politisi meributkan terminologi politik identitas. Kita sudah paham soal ini khan.
 
Hanya anehnya, mengapa di 2019 mesti terulang lagi. Hanya Jokowi vs Prabowo.
 
Untung saja Prabowo mau menerima tawaran sebagai Menhan. Hal ini juga aneh tapi nyata. Kompetitor menjadi bawahan. Lagi-lagi demi dan atas nama menghindari perang dingin pengikut Jokowi yang dianggap sepertinya jumawa dan pengikut Prabowo yang penuh lesu mengenakan jacket sebagai looser.
 
2024, Potensi Dua Paslon Lagi
 
Sebenarnya elite parpol bisa berintrospeksi diri. Awalnya kita masyarakat bawah senang karena desas-desus akan munculnya beberapa paslon jadi kenyataan.
 
 
Bagaimana tidak? Muncul Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bentukan Golkar, PPP dan PAN. Jauh sebelumnya terendus adanya Koalisi Perubahan berisikan Nasdem, PKS, dan Demokrat. Trio pendekar perubahan ini memang sudah mendeklarasikan bacapresnya bernama Anies Baswedan dan menunggu waktu yang tepat menentukan bacawapresnya. 
 
Satu lagi koalisi dua partai berpengalaman bernama Gerindra dan PKB. Siapa tidak kenal Prabowo dan Muhaimin Iskandar? Publik pun mulai happy karena minimal ada 3 paslon dan tentu saja 1 paslon otomatis dari PDIP.
 
Kalkulasi kita diatas ternyata hanya seumur jagung. Desas-desus politik identitas yang mulai meredup kita seperti disenggol lagi untuk dinyalakan kembali oleh gerakan para elit dan ketum parpol dengan nama Koalisi Besar atau Koalisi Kebangsaan.
 
Dilema Parpol dan Narasi Kebangsaan
 
Tingkahlaku penuh percaya diri dan pernyataan politik para jubir parpol terkait koalisi parpol di akhir tahun 2022 lalu seakan hangus terbakar oleh slogan baru Koalisi Besar atau Koalisi Kebangsaan oleh gabungan KIB dan Gerindra dan PKB. 
 
 
Dan menjadi pertanyaan publik, Pak Presiden sungguh seperti ditarik-tarik ke dalam pusaran Koalisi Besar ini. Bahkan Ketum PAN menekankan bahwa king maker-nya atau dirigennya Koalisi Besar ini adalah Pak Jokowi. 
 
Padahal Pak Jokowi katanya enggan ikutan dalam urusan ketum parpol. Mana yang benar? Masyarakat menjadi bingung dan bisa saja frustrasi. 
 
Saya sendiri pun coba lebih tenang menilainya. Apakah para ketum parpol adalah semua the winning team-nya Pak Jokowi selama 2 periode. Atau hanya karena jagoan Pak Jokowi tidak senafas dengan jagoan dari PDIP? Pasti saya hanya menduga-duga saja.
 
Saya pun bertanya, apakah kalau minimal 4 paslon capres cawapres dengan hitungan 20 persen suara parlemen sebagai syarat minimal harus dikorbankan hanya karena romantisme the winning teamnya Pak Jokowi? Tentu saja saya salah. Karena, Nasdem yang justru menjadi parpol perdana di 2014 yang mencalonkan Jokowi -JK justru makin matang dengan Koalisi Perubahan bersama PKS dan Demokrat. 
 
 
Nah, dalam konteks ini saya berani mengatakan politik itu memang harus menjauhi romantisme tetapi mendekati adaptasi dalam berdemokrasi tanpa mengatasnamakan kebangsaan dan NKRI untuk memasung kemandirian parpol. Karena, demokrasi tanpa parpol berarti kita sedang mendirikan sebuah benteng demokrasi di atas pasir.
 
Saya kira, beberapa kalimat diatas cukup menyikut idealisme parpol. Hitungan matematis yang mestinya bisa mengajukan 4 paslon capres cawapres, dugaan saya bisa seperti pemilu 2014 dan 2019. Apakah itu berarti kita kekurangan calon pemimpin bangsa sebesar ini. 
 
Lebih parah lagi, dengan argumen terbalik, jika parpol berupaya mengajukan beberapa paslon sesuai syarat minimal 20 persen suara di parlemen, berarti mereka hanya sedikit memiliki rasa kebangsaan NKRI?  Dan pertanyaan yang sama, apakah hanya dengan memeras dari jumlah 4 paslon menjadi 2 paslon capres dan cawapres dari Koalisi Besar plus PDIP vs Koalisi Perubahan, itu menjadi jaminan bagi Kebangsaan NKRI?
 
 
Saya malahan meragukan itu. Bukan tanpa dan sekedar alasan.  Dengan 2 paslon di 2014 dan 2019, kebangsaan kita malahan terusik oleh politik identitas. Kita hanya berharap agar parpol menjaga independensinya dan mempertahankan Kebangsaan NKRI tanpa harus melebur dalam koalisi sebelum bertanding.
 
Keledai saja tidak mau terperosok dalam lubang yang sama. ***
 
Justino Djogo, MA., MBA, Direktur Eksekutif Forum Dialog Nusantara

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat