unescoworldheritagesites.com

Kualitas Pangan - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi,  Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)


Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi 

: Persoalan tentang pangan bukan sekedar kuantitasnya tapi juga kualitas
dan dari sini maka komitmen terhadap keamanan dan kesehatan pangan juga menjadi penting. Hal ini menjadi argumen di balik tema World Food Safety (Hari Keamanan Pangan Dunia) yang diperingati tiap 7 Juni dan kali ini bertema: “Safer Food, Better Health” (Pangan Lebih Aman Kesehatan Lebih Baik).

Padahal komitmen mencapai pangan berkualitas tidak bisa mengabaikan kesejahteraan petani yang diukur dengan nilai tukar petani – NTP. Padahal, NTP adalah sumber utama bagi kontinuitas proses produksi pertanian, terutama dikaitkan daya beli petani terhadap berbagai komponen untuk mendukung masa tanam berikutnya. Hal ini masih diperparah kondisi bencana di berbagai daerah.

Jika NTP turun, secara otomatis akan berpengaruh terhadap kontinuitas masa tanam.  Artinya, ada ancaman jaminan produksi pertanian (semua komoditi, termasuk dalam hal ini adalah pangan). Persoalan NTP dan juga pangan yang sehat dan aman menjadi sangat serius terutama dikaitkan dengan ancaman ketersediaan pangan. Oleh karena itu, beralasan jika kemudian muncul pernyataan bahwa salah satu problem utamanya adalah terjadinya konversi lahan yaitu lahan pertanian subur menjadi lahan industri. Sayangnya, sampai kini masalah ini masih tidak tuntas.

Bahkan sialnya lagi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang diundangkan 25 September 1960, belum bisa mengantisipasi kecenderungan itu. Paling tidak ini, misal terlihat dari belum banyak pasal-pasal dalam UUPA yang dibuatkan aturan pelaksanaannya. Selain itu, semakin pluralnya hukum pertanahan, mengakibatkan hak-hak rakyat atas tanah amat rapuh nilai kepastian hukumnya dan diperparah maraknya mafia. Mengacu kasus konversi lahan bahwa salah satu faktor penyebabnya yaitu pertambahan penduduk. Mengapa?

Baca Juga: Publik dan Rokok

Teoritis menyebut akumulasi jumlah penduduk akan mengalami lonjakan yang sangat drastis dibanding kemampuan supply bahan pangan sehingga wajar jika ini kemudian muncul kekhawatiran tentang ancaman rawan pangan di sejumlah negara. Indonesia, sebagai salah satu negara yang mempunyai tingkat populasi terbesar ternyata juga tak bisa menghindar
dari ancaman rawan pangan. Oleh karena itu, sangat beralasan jika pemerintah dan banyak negara lain kini gencar untuk melakukan rekayasa genetika di bidang teknologi pertanian pangan yang tidak lain arahnya memacu supply pangan secara berkelanjutan. Meski publik mengakui bahwa langkah sosialisasi ini bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan tapi 
political will atas pencanangannya diyakini akan bisa memberikan arah ke depan yang lebih baik.

Identifikasi political will itu terlihat dari kesepakatan yang dicapai saat World Food Summit FAO November 1996 di Roma dimana saat itu pimpinan dunia mengikrarkan kemauan untuk mencapai ketahanan pangan serta melanjutkan upaya menghapuskan kelaparan dengan cara mengurangi jumlah penderita kekurangan pangan pada tahun 2025 nanti. Versi FAO,
di tahun 1996 ada 800 juta dari 5,76 miliar penduduk dunia menderita kurang pangan, dan diantaranya 200 juta balita menderita kurang gizi.

Terkait hal ini, FAO memperkirakan bahwa jumlah penduduk dunia pada tahun 2030 nanti 8,7 miliar orang yang dikhawatirkan mengalami kekurangan pangan sebagai akibat semakin berkurangnya lahan pertanian yang memicu penurunan produksi pangan dunia. Realitas ini memang mencemaskan! Jadi beralasan tema diatas mengangkat isu keamanan dan
kesehatan pangan untuk keberlanjutan hidup penduduk global.

Tuntutan impor beras untuk meminimalisasi ancaman rawan pangan bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan sebab ada ragam keterkaitan yang harus dikaji, tidak saja aspek mikro tapi juga makro dengan bentuk koordinasi sektoral dan lintas sektoral. Artinya, ini memang menjadi tantangan sebagai negara yang mempunyai penduduk sangat besar dan
lahan agraris luas.

Baca Juga: Catatan Reformasi

Artinya janganlah sampai republik ini yang pernah berswasembada pangan hancur karena ketidakmampuan memproduksi beras-pangan bagi rakyatnya (kemudian hanya diantisipasi dengan impor beras yang tentunya menghabiskan devisa). Oleh karena itu, semua
berharap kondisi ketahanan pangan bisa tercapai sehingga rawan pangan tak terjadi dan kesejahteraan petani bisa lebih terangkat dan masyarakat menjadi sehat karena konsumsi pangan yang aman. ***

* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat