unescoworldheritagesites.com

Bencana dan Relokasi - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi, Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)

Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi 

: Sri Sultan menegaskan bahwa belum perlu ada relokasi terkait dampak gempa kemarin. Di satu sisi, hal ini menegaskan bahwa dampak gempa memang tidak separah gempa di beberapa tahun lalu yang memicu tsunami yang kemudian menimbulkan sejumlah rusak parah, tidak hanya pemukiman tapi juga tempat usaha.

Di sisi lain, relokasi tidak hanya pemindahan perumahan - pemukiman tapi juga untuk mereduksi rasa trauma. Terkait ini tidak bisa dipungkiri bahwa bencana, apapun bentuknya, pasti memicu traumatik untuk korbannya. Hal ini semakin menjadi trauma ketika korban pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.

Artinya, bencana berulang, termasuk gempa, apalagi sampai terjadi tsunami yang menelan banyak korban, pasti berdampak sistemik bagi para korban tidak hanya jiwa tapi juga morilnya. Oleh karena itu persepsian tentang relokasi bukan hanya memindahkan perumahan – pemukiman tapi juga mereduksi traumatik yang terjadi. 

Persoalan justru menjadi runyam ketika tuntutan relokasi terjadi di daerah yang rawan bencana. Paling tidak, hal ini bisa terlihat di Jepang yang notabene menjadi kawasan di jalur rawan gempa. Oleh karena itu, bencana, termasuk gempa, baik tektonik atau yang vulkanik harus dicermati. Setidaknya, antisipasi sedari dini harus dikembangkan untuk mereduksi semua potensi kerugian kepada masyarakat.

Baca Juga: Demokrasi Era Now

Peringatan dini harus dibangun untuk memberikan rasa aman dan setidaknya akan bisa mereduksi rasa traumatik. Fakta yang ada menegaskan bahwa semua  bencana berdampak sistemik terhadap rasa trauma, tidak hanya anak kecil tapi juga dewasa dan orang tua. Meski demikian, tahapan trauma itu berbeda untuk setiap jenis usia dan tingkatannya. 

Fakta dibalik daerah yang rawan bencana, termasuk gempa dan belajar dari kasus yang terjadi di Jepang maka seruan - tuntutan untuk dapat berkawan dengan bencana seolah menjadi pilihan yang paling rasional. Paling tidak, bisa melihat dari kawasan Kaligawe Semarang yang semakin  ramah dan berkawan dengan ancaman rob setiap saat. Bahkan, ancaman rob tidak hanya terjadi saat musim pasang tapi juga bisa setiap saat.

Sejumlah perumahan dan permukiman, juga kampus dan perkantoran seolah tidak bisa mengelak dari ancaman rob tersebut dan akhirnya berkawan dengan rob. Di satu sisi, harga tanah di kawasan tersebut menjadi murah dan mungkin tidak ada yang berminat membelinya. Di sisi lain,  hidup seolah pasrah meski berusaha untuk menaikan bangunan. Ironisnya, ketinggian bangunan juga berbarengan dengan peninggian ruas jalan. 

Terlepas dari tuntutan relokasi bahwa bencana termasuk gempa memicu kecemasan dan hal ini berdampak negatif terhadap proses produksi, terutama UMKM. Betapa tidak, di masa endemi pasca pandemi yang seharusnya memungkinkan bagi UMKM untuk bisa tumbuh, bangkit dan  berkembang ternyata harus berhadapan dengan bencana.

Baca Juga: Pendidikan dan Kualitas SDM

Padahal, kebangkitan pasca gempa yang lalu juga belum sepenuhnya pulih, masih ditambah ada pandemi selama 2 tahun. Ironisnya, ketika tertatih menapaki masa endemi ternyata juga harus berbarengan dengan tahun politik karena pada 2024 akan ada pilpres. Padahal ada kecemasan di setiap hajatan pesta demokrasi sehingga iklim sospol cenderung memanas dan pastinya juga rentan terhadap daya beli. 

Padahal jika mata rantai yang terputus dari dampak bencana gempa berlanjut maka bisa dipastikan berdampak terhadap peningkatan pengangguran dan tentu juga kemiskinan. Padahal, selama ini peran dan kinerja UMKM sangat berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja dan  menyumbang kontribusi ke PDB. Kilas balik kalkulasi dampak PPKM darurat dan pandemi tidak saja ke sektor informal dan UMKM tapi juga semua.

Survei BI menyebut 87,5% UMKM terdampak pandemi dan 93,2% diantaranya terdampak dari penjualan, sementara hasil secara umum menjelaskan imbas dari pandemi adalah terhadap pendapatan, laba dan arus kas sehingga logis jika mayoritas sektor informal -UMKM kini lebih bersikap wait and see sambil melihat perkembangan karena bukan tidak mungkin situasinya berubah wait and worry, apalagi ada pilpres.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat