unescoworldheritagesites.com

Kerawanan Dinasti Politik - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)

 
Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
 
: Isu dinasti politik mencuat dalam sepekan terakhir dan perlu dicermati
agar tidak terjadi penciptaan dinasti politik berkelanjutan. Argumen yang mendasari karena dinasti politik sangat rawan terhadap ancaman korupsi.
 
Rangkaian OTT menjadi bukti bahwa korupsi masih ada di tengah pandemi covid-19 dan Presiden Jokowi pernah menyebut ancaman pidana mati bagi koruptor, termasuk juga korupsi bansos di masa pandemi. Yang justru menjadi pertanyaan apakah ancaman korupsi itu direalisasikan? Keraguan publik tentu beralasan karena efek jera kepada koruptor tidak
maksimal. Fakta modus korupsi masih terjadi dan bahasa sandinya semakin beragam. Oleh karena itu beralasan jika ancaman itu diragukan implementasinya.
 
Selain itu, penanganan korupsi juga seolah tebang pilih dan fasilitas yang disajikan dan diberikan kepada koruptor juga terkesan istimewa. Jadi tidak heran jika korupsi masih terus terjadi. Bahkan, pemenang pasca pilkada serentak 9 Desember lalu yang baru dilantik 26 Pebruari 2021 pasti ada diantara 178 Kepala Daerah itu yang akan terciduk OTT KPK pada 5 tahun ke depan dan tinggal menunggu sial . Jadi, 5 OTT KPK di awal 2022 lalu pasti belum berakhir dan masih mengancam kepala daerah lain yang sedang mencari balik modal di balik kemenangannya. Hal ini harus bisa menjadi warning bagi kepala daerah baru hasil pemekaran di Papua yang baru disahkan.
 
Argumen yang mendasari karena mahalnya ongkos demokrasi di republik ini, dimulai dari restu parpol untuk maju bertarung menjadi kandidat yang tentunya tidak gratis, lalu ongkos kampanye sampai politik uang dan juga pengamanan suara sampai ke hitungan akhir. Logis jika uang palsu marak di pilkada dan pesta demokrasi umumnya. Jadi bukan tidak mungkin pemenang pilkada serentak 9 Desember lalu yang baru dilantik pada 26 Pebruari 2021 akan langsung berhadapan dengan KPK, terutama mereka yang langsung terdesak balik modal secepat kilat.
 
 
Paling tidak hal ini terlihat dari kasus sepanjang 2019 lalu rinciannya Bupati Mesuji, Khamami (23 Januari), Bupati Kepulauan Talaud, Sulut, Sri Wahyuni Maria (30 April), Gubernur Kepulauan Riau, Nurdin Basirun (10 Juli), Bupati Kudus, Muhammad Tamzil (26 Juli), Bupati Muara Enim, Sumsel, Ahmad Yani (2 September), Bupati Bengkayang, Kalbar, Suryadman Gatot (4 September), Bupati Lampung Utara, Agung Mangkunegara (6 Oktober), Bupati Indramayu, Supendi (14 Oktober) dan juga Walikota Medan, Dzulmi Eldin (16  Oktober).
 
Rangkaian OTT memicu pertanyaan sampai kapan republik ini bisa terbebas dari jerat  korupsi? Nampaknya ini adalah pertanyaan klasik terkait dengan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Tidak heran jika koruptor tidak pernah jera karena hukum terlalu lunak sehingga memicu nafsu korup. Terkait ini, upaya membuat jera koruptor tidak juga pernah berhenti.
 
Di sisi lain perlawanan koruptor kian gencar, termasuk misal kriminalisasi atas KPK, kasus Novel Baswedan yang tidak tuntas serta kontroversi revisi UU KPK. Oleh karena itu,  mundurnya 38 pegawai KPK, termasuk Febri Diansyah dapat menjadi pembelajaran betapa KPK sekarang memiliki pekerjaan sangat berat untuk dapat menuntaskan persoalan korupsi yang semakin akut. Meski OTT bukan strategi yang bisa mereduksi korupsi tapi setidaknya bisa menjadi langkah awal untuk meminimalisasinya dan seharusnya ada upaya preventif sedari dini agar tidak memicu nafsu korupsi. Paling tidak, di tahun 2023 jumlah korupsi dan OTT kepala daerah harus berkurang.
 
Terlepas dari kontroversi korupsi, yang jelas peran politisi dalam  perilaku korupsi sangat mempengaruhi kinerja perekonomian karena bagaimanapun juga korupsi itu merugikan. Hal ini terutama menyangkut peran politisi dalam membuat kebijakan, baik yang secara  langsung terkait dengan ekonomi atau kebijakan sosial lainnya. Relevan dengan peran strategis para politisi dalam membuat kebijakan ekonomi maka terungkapnya sejumlah politis dalam skandal korupsi jelas memicu sentimen bagi parpol dan juga perekonomian secara makro. Ironisnya, kasus yang terjadi tidak pernah redup tetapi terus meningkat di setiap periode perwakilan rakyat. Dari rilis ICW, setidaknya ada 52 kader parpol terjerat korupsi di berbagai kasus. Ironis kader parpol besar justru mendominasi.
 
 
Sejatinya ada dua faktor klasik pemicu perilaku korupsi, pertama: faktor internal yaitu nafsu pribadi yang bisa juga disebabkan karena aspek tuntutan balik modal imbas dari mahalnya ongkos demokrasi. Oleh karena itu, sangat beralasan jika banyak wakil rakyat – politisi dan
kepala daerah yang terjerat OTT KPK karena tingginya nafsu pribadi demi korup untuk meraih dan mempertahankan dinasti politik dan politik dinasti karena justru dari sinilah kekuasaan itu akan terbentuk dan langgeng. Jadi, logis jika dinasti politik – politik dinasti sangat rawan memicu perilaku korupsi dan fakta sudah membuktikannya.
 
Kedua: faktor eksternal yang tidak terlepas dari kehidupan demokrasi dan iklim yang melingkupinya. Logis jika perkembangan demokrasi di republik ini lekat dengan budaya dan perilaku korupsi sehingga perlu dibenahi. Artinya, perubahan dari demokrasi tidak langsung dan demokrasi langsung ternyata tidak berdampak signifikan terhadap perilaku korupsi. Bahkan, era otda ternyata juga semakin menyuburkan korupsi. Ironisnya, kasus yang terjadi tidak lagi dilakukan individu tetapi juga berjamaah melibatkan wakil rakyat.
 
Data KPK menegaskan periode 2002-2018 jumlah Bupati/Wakil Bupati terjerat korupsi ada 67 orang, anggota DPRD 149 orang, Gubernur 14 orang, anggota DPR 69 orang, dan  Walikota/ Wakil Walikota 24 orang. Jumlah tersangka korupsi mencapai 885 orang dan politikus yang menjadi tersangka 324 orang. Sebaran institusi dalam perkara korupsi ada di
Kementerian/Lembaga 295 orang, pemkab/pemkot 261 orang, pemerintah pusat / provinsi 119 orang, DPR/DPRD 67 orang, BUMN/BUMD 52 orang dan di Komisi ada 20 orang. Selain itu, berdasar perkara ternyata didominasi oleh pungutan dan penyuapan masing-masing 507 kasus, pengadaan barang-jasa 180 kasus, korupsi anggaran 46 kasus,  dan perijinan 22 kasus.
 
Artinya sebaran korupsi merata di sejumlah lembaga dan perkara sehingga sebetulnya KPK bisa dengan mudah mengendus korupsi karena modus yang dilakukan cenderung sama meski sandi yang dilontarkan berbeda. Jadi ini tantangan bagi Kepala Daerah di era  otda untuk 5 tahun kedepan menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan karenanya berharap agar di tahun 2022 jumlah OTT KPK semakin berkurang karena memang era otda dengan euforia pemekaran daerah sangat rawan kasus korupsi dan kasus 5 OTT di awal 2022 dipastikan belum berakhir dan waktu akan membuktikan sekaligus perlu adanya evaluasi pelaksanaan era otda dan era reformasi.
 
 
Jadi pengesahan 3 provinsi baru di Papua diharapkan tidak menambah daftar kepala daerah terjerat OTT dan juga tidak membangun dinasti politik baru di 3 provinsi baru tersebut. Hal ini secara tidak langsung memicu harapan agar di tahun 2023 tidak terjadi OTT Kepala Daerah. ***
 
* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat