unescoworldheritagesites.com

Pemerintahan Bersih - News

Dr. Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)

 
Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
 
: Tahun 2023 rentan terhadap ancaman korupsi dan OTT karena di tahun
2024 ada pilpres yang biasanya membutuhkan alokasi dana cukup besar
bagi parpol untuk pemenangan di pilpres.
 
Kekhawatiran terkait ancaman korupsi tidak terlepas dari kasus akhir tahun 2020 dengan terjadinya OTT atas Juliari P Batubara (Menteri Sosial) dan Adi Wahyono dan Matheus Djoko Santoso (keduanya pejabat pembuat komitmen Kemensos). Selain itu, akhir 2020 diwarnai OTT yaitu 27 November ke Ajay Muhammad Priatna (Walikota Cimahi) dan 3 Desember ke Wenny Bukamo (Bupati Banggai Laut). Ironi korupsi juga dibarengi perilaku berjamaah yang melibatkan wakil rakyat.
 
Artinya, tidak lagi individu dan ini menjadi ancaman. Fakta 14 wakil rakyat Sumatera Utara periode 2009-2014, 43 anggota dan pimpinan DPRD Sumatera Barat atas korupsi APBD 2002 Rp.6,48 miliar, 40 wakil rakyat Kota Padang periode 1999-2004 atas korupsi APBD Rp.10,4 miliar, 45 wakil rakyat Kota Malang atas suap APBD Perubahan 2015 dan suap Raperda Provinsi Jambi 2017 untuk 53 wakil rakyat di Jambi yang dilakukan Gubernur Jambi Zumi Zola.
 
Fakta ini menjadi ironi jika dikaitkan pelantikan 178 Kepala Daerah yang dimungkinkan akan terjadi OTT 5 tahun ke depan karena pemenang sangat rawan mencari balik modal. Jadi, ironi di awal 2022 mengulang kasus yang sama di tahun 2021 ketika OTT kepada Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah. Tuduhan yang disematkan yaitu gratifikasi terkait  pengadaan barang - jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemprov Sulawesi Selatan 2020/2021. OTT itu sendiri kian menguatkan asumsi bahwa demokrasi rentan dengan korupsi dan hal ini bertentangan dengan semangat reformasi.
 
Baca Juga: HIPMI dan UMKM
 
Demokrasi - ekonomi adalah setali tiga uang yaitu demokrasi butuh amunisi yang tidak sedikit dan cenderung tanpa batas untuk mendukung operasional dan sukses demokrasi, termasuk pelaksanaan pilkada baik bagi perebutan kursi wakil rakyat atau kepala daerah. Paling tidak, ini terlihat dari tingkatan demokrasi yang paling rendah yaitu pilihan lurah, pilkada, pemilu legislatif sampai yang tertinggi yaitu pilpres.
 
Di tiap tingkatan tentu ada batas minimal yang harus dipersyaratkan agar mencapai tahapan demokrasi yang terbaik atau setidaknya sukses digelar hajatan demokrasi. Oleh karena itu, hitungan nilai inilah yang akhirnya menentukan batas minimal uang yang harus disiapkan untuk bertarung di pesta demokrasi. Jadi, yang tidak punya modal jangan harap bersaing di pesta demokrasi dan akibatnya money politics menjadi bumbu penyedap di pesta demokrasi kita.
 
Imbas dari itu semua adalah ancaman terhadap korupsi, jual beli jabatan dan juga  membangun dinasti politik untuk melanggengkan kekuasan yang abadi. Mata rantai itu  akhirnya juga rentan terhadap perilaku korupsi. Artinya, tidak heran jika diantara para pemenang pesta demokrasi pasti ada yang terjerat OTT KPK sehingga ini harus menjadi warning kepada Kepala Daerah baru hasil pemekaran di Papua tersebut dan tantangan pada tahun 2023.
 
Konsekuensi legalitas dan generalisasi money politics itu yang  akhirnya menjadi tumbal pelanggaran korupsi APBD. Kepentingan membangun kepercayaan Butler, et al (1999) di artikel berjudul ‘Transformational leadership behaviors, upward trust, and satisfaction in self-managed work teams’ meyakini ketidakpercayaan memacu disharmonisasi dalam kinerja, baik secara individual atau kolektif. Padahal sebagai institusi, wakil rakyat dan pejabat di daerah yaitu sekumpulan individu sehingga tidak melibatkan kinerja individu orang per orang tetapi keterlibatan secara kolektif.
 
 
Terkait ini, penilaian individu dalam kolektivitas menjadi kian rumit dalam penilaian dan hal
ini dijelaskan Pearce, (2007), di artikel “The future of leadership development: The importance of identity, multi-level approaches, self-leadership, physical fitness, shared leadership, networking, creativity, emotions, spirituality and on-boarding processes”.
 
Maraknya korupsi memperkuat temuan berbagai kasus sebelumnya terkait banyaknya pejabat, kepala daerah, mantan kepala daerah dan politisi yang terjerat korupsi dengan berbagai modus yang intinya untuk pemenangan demokrasi, baik tujuan bagi pencapaian kursi wakil rakyat atau kepala daerah dan atau balik modal atas pelaksanaan demokrasi.
Oleh karena itu, semakin banyak terjadi pemekaran daerah maka secara tidak langsung memicu terjadinya kasus korupsi di daerah dan dinasti politik karena ini mata rantai dari demokrasi itu sendiri.
 
Oleh karena itu, masyarakat harus proaktif mengantisipasi hal ini karena keberhasilan otda dan pemekaran daerah tergantung partisipasi masyarakat untuk mengontrol semua mekanisme pelaksanaan.
 
Jadi, harapan pelantikan 178 Kepala Daerah pemenang pesta demokrasi (9 Desember
2020) dan dilantik pada 26 Pebruari 2021 lalu harus melahirkan pemerintahan daerah bersih, bukan justru sebaliknya menjadi bidikan KPK di 5 tahun lagi dan OTT kepada Bupati Bogor, Ade Yasin menjadi potret buram demokrasi di republik ini sehingga korupsi tidak  pernah berhenti. Ironisnya, Kabupaten Bogor mencatat sejarah karena dua kakak beradik yang pernah menjabat sebagai Bupati terjerat OTT KPK yaitu Rachmat dan Ade Yasin.
 
 
Jadi kasus ini menjadi preseden buruk OTT terkait pemekaran daerah, termasuk di Papua tersebut. Artinya, di era otda dan era reformasi ternyata masih berkutat dengan ancaman korupsi dan harus diwaspadai Kepala Daerah yang baru di Papua sebagai hasil dari pemekaran dan tantangan pada 2023. ***
 
* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta
 
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat