unescoworldheritagesites.com

Dr Andre Yosua M SH MH MA: Dipanggil Tak Datang Ya Jemput Paksa - News

Kejati DKI

JAKARTA: Ahli hukum pidana Dr Andre Yosua M SH MH MA menyatakan jika seorang tersangka yang dipanggil dua kali secara berturut-turut namun tak mengindahkannya, maka Kepolisian bisa melakukan jemput paksa atau perintah bawa menghadap. Terlebih jika ancaman hukuman yang dijeratkan terhadap tersangka tersebut lima tahun ke atas.

Jika tersangka melaporkan menderita sakit namun tidak sampai menjalani rawat inap di rumah sakit, maka penyidik dan penuntut umum dapat melakukan dikresi. Artinya, surat keterangan sakit yang dikirimkan tersangka ke penyidik secara tidak langsung bisa diuji kebenarannya dengan dibawa yang bersangkutan ke dokter yang ditunjuk penyidik atau jaksa untuk dilakukan pemeriksaan. Kalau ternyata surat keterangan sakit itu tidak sebagaimana adanya kondisi kesehatan tersangka tersebut, tentu penyidik atau penuntut umum dapat menjebloskan yang bersangkutan ke dalam tahanan. “Hal ini dilakukan demi kepastian hukum,” tutur Dr Andre Yosua di Jakarta, Sabtu (30/5/2020).

Jika diikuti surat-surat keterangan yang menyatakan seorang tersangka menderita sakit, padahal sesungguhnya tidak, proses hukum kasus yang melibatkan bersangkutan menjadi bertele-tele. Padahal, yang diinginkan proses hukum sederhana, murah, cepat namun berkekuatan hukum pasti. “Tidak tersendat-sendat dan berliku-liku, karena tersangka maupun korban tindak kejahatan itu pada intinya sama-sama berkeinginan perkaranya berkepastian hukum,” tutur Andre Yosua.

Sebagaimana diketahui, tersangka Robianto Idup, Komisaris PT Dian Bara Genoyang (DBG), berikut berkas penipuan, penggelapan dan pencucian uang yang dilakukannya sedianya dilimpahkan penyidik Polda Metro Jaya ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati)/Kejari Jakarta Selatan pada Kamis (14/5/2020). Namun tersangka Robianto Idup yang sempat buron sebelum menyerahkan diri di Belanda tidak datang.  Yang muncul surat keterangan sakit dari dokter suatu rumah sakit, yang diserahkan kuasa hukumnya.

Jika mengacu pada pendapat Dr Andre Yosua, penyidik sudah dapat melakukan tindakan tegas agar kasusnya tidak berkepanjangan. Caranya dengan menyerahkan berkas berikut tersangka ke penuntut umum. Selanjutnya biarkan saja penuntut umum menentukan sikap apakah memasukkan tersangka ke dalam tahanan demi memperlancar proses persidangan.

“Untuk perkara yang ancaman pidananya di atas lima tahun tentu bisa dihindarkan proses yang bertele-tele jika tersangka tersebut dimasukkan ke dalam tahanan,” tuturnya.

Penyidik Polda Metro Jaya tidaklah memasukkan tersangka Robianto Idup ke dalam tahanan kendati sebelumnya sempat buron sampai masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan red notice. Manakala DPO itu (Rubianto Idup) menyerahkan diri di Denhaag (Belanda), penyidik Polda Metro Jaya membiarkannya berlenggang kangkung. Akibatnya, penyidik Polda Metro Jaya yang  tidak melakukan penahanan itu sendiri yang dibuat pusing saat pelimpahan berkas, barang bukti dan tersangka tersebut tidak tampak batang hidungnya.

Dalam surat keterangan dokter disebutkan tersangka Rubianto mengidap penyakit paru-paru. Adakah ini permainan tersangka Robianto Idup, yang disebut-sebut licin kayak belut? Adakah juga permainan ini melibatkan oknum-oknum?. Penyidik Polda Metro Jaya enggan mengomentarinya. Hanya diisyaratkan, seseorang yang menderita sakit, apalagi jika sudah dalam kondisi kritis atau serius mempunyai hak dan alasan untuk tidak memenuhi panggilan aparat. Belum lagi situasi dan kondisi pandemi Convid-19 atau PSBB sekarang ini.

Namun hukum yang berkeadilan dan berkebenaran harus tetap ditegakkan. Penyidik harus segera memanggil lagi tersangka, dan jika sudah terlampaui panggilan kedua maka jemput paksa perlu dilakukan demi kepastian hukum itu sendiri.

Kasus penipuan, penggelapan dan TPPU dilakukan tersangka Robianto Idup  sejak ada kerja sama antara dirinya selaku Komisaris PT DBG dalam usaha pertambangan batubara dengan Herman Tandrin Dirut PT GPE pada pertengahan tahun 2011. PT GPE yang memiliki peralatan lengkap diperjanjikan  mengerjakan penambangan batubara di wilayah izin pertambangan PT DBG di Desa Salim Batu Kecamatan Tanjung Palas Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. PT GPE pun melakukan mobilisasi unit, land clearing dan pekerjaan overburden sesuai yang diperjanjikan sampai Agustus 2011. Bahkan dilanjutkan penggalian batubara September 2011. Namun PT DBG tidak kunjung melakukan pembayaran atas kerja PT GPE hingga mengancam menyetop pelaksanaan pekerjaan penambangan.

Tersangka Robianto Idup masih dapat meyakinkan Herman Tandrin bahwa dirinya bukanlah tipe orang tak konsisten membayar hutang.  Dia kemudian meminta diteruskan pekerjaan selanjutnya karena akan dibayar sekaligus dengan bayaran yang telah dilaksanakan maupun yang dikerjakan selanjutnya.

PT GPE pun melakukan eksplorasi penambangan batubara hingga menghasilkan sebanyak 223.613 MT atau senilai Rp 71.061.686.405 untuk PT DBG. Namun, pihak PT DBG yang diwakili Robianto Idup tak kunjung membayar PT GPE yang ditaksir mencapai Rp 22 miliar lebih.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat