TANGERANG: Persidangan kasus apartemen mangkrak proyek Grand Eschol PT.l Mahakarya Agung Putera (MAP) dengan terdakwa HM sedang berjalan di PN Tangerang sejak Mei 2021.
PT MAP yang telah dinyatakan palilit pada Agustus 2019 ternyata masih menyisakan persoalan-persoalan hukum dalam ranah pidana di mana Terdakwa HM sebagai direktur utama didakwa dengan pasal dugaan tindak pidana penipuan, penggelapan (tppu), dan pelanggaran UU tentang Rumah Susun.
Kasus ini berawal dari gagalnya serah terima unit apartemen dan kondotel dari pengembang PT MAP kepada para konsumennya, di mana pembangunan apartemen tersebut baru terbangun 13 lantai dari 36 lantai yang direncanakan oleh pengembang, sehingga konsumen yang terdiri dari beberapa kelompok mengambil langkah hukum baik perdata maupun pidana sejak tahun 2016.
Saksi–saksi konsumen yang diperiksa di persidangan mengaku merasa tertarik membeli apartemen atau kondotel pada tahun 2014 karena ada nama Aston, dan para saksi lainnya menerangkan bahwa ternyata IMB nya hanya IMB peruntukan apartemen bukan kondotel. Kedua hal inilah yang menjadi fokus utama JPU dalam surat dakwaannya tertanggal 20 Mei 2021.
H. Onggowijaya, SH, MH Dkk dari Firma Hukum Onggo & Partners selaku penasihat hukum yang membela Terdakwa HM dalam siaran persnya menerangkan bahwa carut marut perkara hukum ini sangat rumit karena telah berlangsung sejak tahun 2016 di mana antara pengembang dan konsumen memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menyelesaikan persoalan ini.
Yang menjadi pokok utama dalam perkara ini adalah apakah Terdakwa HM memiliki niat jahat melakukan kejahatan – kejahatan sebagaimana dalam dakwaan JPU? Dan kami pun memahami bahwa dari sudut pandang konsumen ada kerugian karena unit tidak dapat diserahterimakan sesuai jadwal sebagaimana yang disepakati dalam PPJB.
"Akan tetapi setelah kami meneliti lebih jauh surat dakwaan JPU, ternyata JPU mendakwa Klien Kami dengan salah satu pasal yang sudah dihapus oleh UU Cipta Karya, dan ini membuktikan bahwa baik penyidik maupun penuntut umum tidak cermat baik dalam melakukan pemeriksaan atau membuat surat dakwaan sehingga terkesan mengada-ada,” kata H. Onggowijaya.
Dalam persidangan terungkap fakta bahwa PT MAP ternyata memang ada perjanjian kerja sama operasi hotel dengan Aston yang ditandatangani pada Februari 2014, dan fakta lain yang juga terungkap adalah ketika saksi dari Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Tangerang di persidangan menerangkan bahwa izin peruntukkan IMB dapat diubah bahkan ketika bangunan apartemen telah selesai sepenuhnya.
Dua hal yang yang awalnya dipermasalahkan JPU yaitu tentang penggunaan nama aston dan tentang periizinan ternyata justru dipatahkan oleh keterangan saksi dari JPU sendiri yang terungkap di persidangan.
Terdakwa HM sebagai pengembang telah mengurus 16 periizinan sebagai syarat terbit nya IMB, jadi secara logika hukum tidak ada penipu yang mau menandatangani kerja sama dengan pihak lain.
Kemudian mengurus dan memenuhi 16 syarat perizinan guna terbitnya IMB, kemudian melakukan pembangunan setinggi 13 lantai meski belum selesai terbangun sepenuhnya.
"Terkait dengan kerugian maka hal itu telah diselesaikan dalam ranah perdata di mana PT MAP telah dinyatakan pailit pada Agustus 2019, sehingga terkait dengan obyek sengketa kerugian telah selesai melalui pengadilan niaga.” ucap Onggowijaya.
Carut marut perkara ini sudah seperti benang kusut sejak Oktober 2017, di mana saat itu konsumen berdemo di kantor PT. MAP dan memaksa terdakwa menyerahkan Sertipikat SHGB proyek PT. MAP dan terdakwa akhirnya memenuhi permintaan perwakilan konsumen dengan menyerahkan sertipikat tersebut.
"Hanya ada 1 pengembang di Indonesia yang mau menyerahkan sertipiikatnya untuk dikuasai oleh konsumen dengan dalih sertipikat dititipkan di notaris. Jika sertipikat tidak dikuasai pengembang, maka hampir pasti semua pihak akan rugi dalam situasi tersebut dan terbukti saat ini baik konsumen maupun terdakwa sama-sama rug, ” ucap Onggowijaya.