unescoworldheritagesites.com

Betulkah Pedoman RJ Narkotika Dapat Atasi Sesak Lapas? - News

Jaksa Agung ST Burhanuddin

JAKARTA: Sejak detik awal November 2021 menjadi hari menggembirakan bagi penyalahguna/pengguna narkotika yang seringkali pula disebut sebagai korban. Pasalnya, hari pertama November itulah diberlakukan/dikeluarkan pedoman rehabilitasi dan restorative justice untuk kasus narkotika oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Pedoman No 18 Tahun 2021 tentang penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restorative justice (RJ) sebagai pelaksanaan asas dominus litis jaksa. “Pedoman No 18 Tahun 2021 menjadi acuan bagi penuntut umum guna optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Artinya, optimalisasi melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restorative justice sebagai pelaksanaan asas dominus litis jaksa,” demikian siaran pers Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Selasa (9/11/2021).

Latar belakang dikeluarkannya pedoman tersebut, kata Leonard, memperhatikan sistem peradilan pidana saat ini cenderung punitif, tercermin dari jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang melebihi kapasitas atau overcrowding. “Sebagian besar merupakan narapidana tindak pidana Narkotika. Isu overcrowding telah menjadi perhatian serius masyarakat dan pemerintah sebagaimana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 dalam rangka perbaikan sistem hukum pidana melalui pendekatan keadilan restorative,” tuturnya.

Dalam kondisi Lapas penuh sesak seperti saat ini diperlukan kebijakan kriminal yang bersifat strategis, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika salah satunya melalui reorientasi kebijakan penegakan hukum dalam pelaksanaan UU No. 35 Tahun 2009, tentang Narkotika yang selanjutnya disebut UU Narkotika. “Penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dilakukan dengan mengedepankan keadilan restoratif dan kemanfaatan atau doelmatigheid serta mempertimbang kan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan,” ungkapnya.

Menanggapi pedoman yang baru dikeluarkan Jaksa Agung tersebut, Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat menilai rawan disalahgunakan.  Selain itu, penerapannya yang hanya dilakukan jaksa juga semakin membuka peluang terjadinya penyalahgunaan keadilan restorative

Menurut mantan anggota Komisi III DPR ini,  pelaksanaan restorative justice khusus perkara penyalahgunaan narkotika hanya akan jalan di tempat, jika yang melakukannya cuma oleh Kejaksaan sendiri.  Karena itu, Jaksa Agung Burhanuddin diminta untuk mengajak dan bersama-sama dengan Kepolisian untuk menjalankannya, serta dibarengi dengan pengawasan yang ketat. 

“Bagus, asal dijalankan dengan baik, benar dan harus ada pengawasan terhadap para pelaksana di bawahnya. Juga harus berkoordinasi dengan Kapolri. Supaya ada kebersamaan, agar Kapolri juga menerapkan hal yang sama di institusi Polri,” tutur Henry Yosodiningrat, Selasa (09/11/2021). 

Henry menyebut, Kejaksaan Agung harus bersama-sama dengan Kepolisian dalam menangani perkara narkotika.  “Jangan nanti begitu berkas perkara sampai ke jaksa, P21, pelimpahan, eh ternyata secara materiil orang itu adalah pengguna. Padahal dari penyidik naik ke atas, karena orang enggak mampu misalnya, malah dimainkan oleh oknum penyidik bersekongkol dengan jaksa hingga dikenakan pasal sebagai pengedar,” tuturnya.

“Pedoman ini mulai berlaku saat tersangka yang disangka melanggar Pasal 127 ayat 1 UU Narkotika belum dilimpahkan ke pengadilan,” ujar Leonard. Dengan begitu diharapkan  para Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat sebaik-baiknya menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela dalam penerapannya. 

“Jaksa Agung akan menindak tegas setiap oknum Kejaksaan yang mencoba mencederai maksud dan tujuan dikeluarkannya pedoman tersebut,” kata Leonard menegaskan.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat