unescoworldheritagesites.com

Kejaksaan Agung Tunjuk 8 Jaksa Senior Tangani Kasus Saifuddin Ibrahim - News

: Kejaksaan Agung bersiap menangani tersangka pendeta Saifuddin Ibrahim (SI) terkait dugaan tindak pidana melakukan ujaran kebencian berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) serta penistaan agama melalui media sosial Youtobe. Hal itu dibuktikan dengan ditunjuk sejumlah atau delapan jaksa senior untuk menangani perkara tersebut oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Dr Fadil Zumhana SH MH.

Penunjukan ke delapan jaksa peneliti  (P-16) sebagai tindaklanjut diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh Kejaksaan Agung melalui Jampidum dari Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri). “SPDP atas nama tersangka SI alias A bin M diterima Setjampidum pada tanggal 28 Maret 2022,”  kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Dr Ketut Sumedana, Jumat (8/4/2022)

Ketut Sumedana menyebutkan tim jaksa P-16 yang ditunjuk sejak 5 April 2022 tugasnya adalah untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara pidana yang disangkakan kepada tersangka. “Juga mempelajari berkas perkara tersangka jika sudah diterima dari penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri,” kata Ketut.

Tersangka Saifuddin Ibrahim yang eks ustadz dan kini pendeta membuat pernyataan menghebohkan dan kontrofersial melalui Youtobe dengan meminta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas agar menghapus 300 ayat Al Qur’an yang dianggap biang intoleransi dan radikalisme di Indonesia.

Tindakan tersangka dinilai penyidik Mabes Polri melanggar pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau pasal 14 Ayat (1) dan (2) dan/atau pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum dan atau pasal 156a huruf a KUHP. Namun tersangka Saifuddin Ibrahim disebut-sebut saat ini berada di Amerika. 

Sementara itu, advokat Martin Lukas Simanjuntak  menilai vonis terdakwa M Kace yang maksimal 10 tahun penjara di Pengadilan Negeri Ciamis sangat mengecewakan. Dia memandang majelis hakim tidak mempertimbangkan hal yang dapat meringankan vonis kepada terdakwa yang tidak pernah terlibat kasus hukum. "Hampir mustahil tidak ada hal yang meringankan bagi klien kami. Seperti yang disampaikan oleh majelis hakim. Padahal, terdakwa tidak pernah dipidana," ujar Martin, Kamis (7/4/2022). Dia membandingkannya dengan perkara lain seperti ujaran kebencian Yahya Waloni. Sebab, kata Martin, Yahya divonis lebih ringan dibanding M Kace.

"Seperti ujaran kebencian yang dilakukan ustaz Yahya Waloni itu hal yang meringankan sudah menjadi kebiasaan. Terdakwa yang tak pernah dituntut pasti akan meringankan. Namun majelis hakim berpendapat lain. Pendapat lain ini yang mengecewakan kami," tutur Martin seraya menyebut M Kace berprilaku sopan dan baik selama dalam persidangan tapi tidak menjadi hal yang meringankan.

Alasannya M Kace berpotensi mengakibatkan disintegrasi bangsa. Padahal, di kasus yang lainnya pun menyebabkan disintegrasi bangsa. "Ayolah kita adil, terlepas salah atau benar. Kalau ada yang meringankan jangan dianulir," katanya menduga hal ini dipersiapkan agar bisa diberikan vonis maksimal kepada M Kace. Martin berharap jangan sampai ada lagi peradilan yang menurutnya sangat mengecewakan dan tidak memberikan keadilan bagi terdakwa.

Pendeta Saifuddin Ibrahim sendiri menyoroti vonis hukuman 10 tahun penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus penistaan agama M Kace. Melalui saluran Youtube dia mengatakan vonis tersebut adalah bukti bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak adil. Dia menduga penyidik telah memanipulasi para saksi di persidangan M Kece. "Penyidik ini berusaha untuk membuat saksi-saksi palsu di dalam sidang M Kece. Mencari sebanyak-banyaknya itu dari Ciamis untuk dibawa ke pengadilan," ujar Pendeta Saifuddin di kanal Youtube Saifuddin Ibrahim, Kamis (7/4/2022).

Dia menyebutkan, vonis 10 tahun terhadap M Kace menjadi perbincangan publik di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia. "Hukuman 10 tahun ini menjadi bahan lawakan bagi orang-orang di Amerika, di Eropa, dan Australia bahwa Indonesia memiliki perangkat hukum yang tidak menunjang keadilan," katanya.

Selain itu, vonis 10 tahun M Kece memacu Pendeta Saifuddin untuk memperjuangkan keadilan di Indonesia, terutama kebebasan berpendapat. "Memperjuangkan keadilan itu adalah bagian dari firman Tuhan, perintah Yesus Kristus agar kita tidak bisa ditipu terus menerus oleh dunia ini," kata Saifuddin kemudian menambahkan bahwa hakim yang memeriksa perkara M Kace tidak bertindak adil.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Ciamis menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun  dikurangi masa selama penahanan, kata Ketua Majelis Hakim Vivi Purnamawati saat membacakan vonis sidang kasus penistaan agama di Pengadilan Negeri Ciamis, Rabu (6/4/2022).

Majelis hakim menegaskan M Kace terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana menyiarkan berita bohong melanggar Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana  juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.***

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat