unescoworldheritagesites.com

Uji Materil UU Pilkada Bakal Disusul Permohonan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden? - News

: Tidak hanya masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diwacanakan diperpanjang atau menjadi tiga periode. Ternyata masa jabatan Gubernur DKI Anies Baswedan juga diminta diperpanjang. Bahkan permintaan perpanjangan itu sudah sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak hanya sekedar wacana lagi.  

Kalau yang pengwacanakan perpanjangan jabatan presiden kurang konkrit atau transparan keberadaannya, tidak demikian dengan pemohon perpanjangan masa jabatan Gubernur DKI. Dua warga Jakarta, A Komarudin dan Eny Rochayati, secara terang-terangan meminta agar masa jabatan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta diperpanjang. Banyak alasannya, dan sebagian besar alasan tersebut telah dituangkan dalam permohonan uji materi UU Pilkada ke MK.

Apakah dengan uji materi UU Pilkada menjadi tertarik atau menyusul seseorang atau beberapa orang mengajukan uji materi tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden guna memperpanjang masa jabatan presiden saat ini ke MK. Sampai saat ini masih belum ada yang menempuh langkah hukum seperti itu, masih hanya sebatas wacana-wacana, usulan dari tokoh atau berbagai kalangan atau partai politik.

Menanggapi permintaan perpanjangan masa jabatan Gubernur DKI oleh dua warganya itu lewat uji materi UU Pilkada, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menilai perpanjangan periode masa jabatan mesti melalui Pilkada 2024. "Anies dengan saya kan 16 Oktober habis, ya sudah kita laksanakan. Perpanjangan menunggu Pilkada 2024," kata Riza di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (8/4/2022).

Riza mengakui masa jabatan beberapa kepala daerah berakhir di pertengahan tahun 2022 ini. Sedangkan masa jabatan Anies dan dirinya berakhir pada Oktober mendatang. "Masa jabatan kepala daerah, wakil kepala daerah, bupati, wali kota, gubernur dengan wakil-wakilnya ada yang selesai sesuai dengan masa jabatannya 15 Mei ini," ujarnya.

Dalam permohonan tersebut, kedua pemohon menguji Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada yang berbunyi: Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.

Mereka juga menguji Pasal 201 ayat 10 yang berbunyi: Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedua penguji UU Pilkada itu kemudian meminta agar MK menyatakan Pasal 201 ayat 9 dan Penjelasan Pasal 201 ayat 9, Pasal 201 ayat 10, dan ayat 11 UU Nomor 10/2016 konstitusional bersyarat dengan dimaknai: 1. Adanya ketentuan mengenai mekanisme pengisian penjabat kepala daerah yang demokratis; 2. Calon penjabat kepala daerah memiliki legitimasi dan penerimaan yang paling tinggi dari masyarakat; 3. Ada ketentuan yang jelas mengenai persyaratan-persyaratan sejauh mana peran, tugas dan kewenangan dari penjabat kepala daerah yang ditunjuk; 4. Dapat memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang sedang menjabat dan/atau habis masa baktinya pada 2022 dan 2023; 5. Bukan berasal dari kalangan kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia; 6. Independen dan bukan merupakan merepresentasikan kepentingan politik tertentu dari Presiden atau pemerintah pusat.

Atas uji materil UU Pilkada itu, MK memberi nasihat ke para pemohon karena MK menilai permohonan pemohon masih kabur atau tidak jelas.  "Hanya mengatakan misalnya ada pemohon yang tinggal di DKI Jakarta, dia dipimpin oleh gubernur, kemudian dia memilih pada waktu itu. Dia sebenarnya tidak menolak penjabat, hanya memberikan kriteria siapa yang bisa menjadi penjabat, salah satu yang diusulkan adalah yang sudah terpilih atau yang menduduki jabatan yang telah berakhir itu dengan pertimbangan itu kan hasil pilihan kami dulu, biarlah dia yang menjabat. Tapi sekali lagi, saya tidak memilih dia, saya katakan jangan diperpanjang, biar saja dulu diisi penjabat yang ditentukan oleh pemerintah berdasarkan norma yang sudah ditentukan di dalam undang-undang Pasal 201 ayat (9), ayat (10), ayat (11) itu," demikian Wakil Ketua MK Aswanto sebagaimana dilansir website MK, Jumat (8/4/2022).

MK juga belum bisa melihat kerugian konstitusional nyata pemohonan A Komarudin dkk. Pemohon harus menegaskan bahwa hak konstitusional yang diberikan kepada para pemohon atau yang tercantum di dalam UUD 1945 dilanggar. Artinya, hak konstitusional yang diperoleh pemohon ternyata dilanggar. "Ini yang belum tampak di dalam permohonan," kata Aswanto.

Hakim konstitusi Saldi Isra menyebutkan bahwa permohonan pemohon belum jelas. Apa saja kerugian konstitusional yang dihadapi? “Ini kerugian hak konstitusional, ini alasan mengajukan permohonan, ini petitumnya. Ada delapan poin yang diminta, tapi tidak terurai dengan baik semuanya di alas an mengajukan permohonan," kata Saldi Isra.

Hakim konstitusi Arief Hidayat menambahkan permohonan A Komarudin dkk menuntut pembuatan norma baru. Padahal, pada prinsipnya, pembuatan norma baru adalah kewenangan DPR. "Kalau membaca petitum semacam ini, saya mempunyai pemahaman, masa membuat aturan kita itu menjadi semacam positive legislator. MK adakalanya menghindari kekosongan hukum, maka bisa menjadi positive legislator, tapi tidak harus MK menjadi positive legislator. Kalau membaca petitum pemohon, kami diminta untuk menjadi positive legislator," ujar Arief Hidayat kemudian mempersilakan pemohon memperbaiki petitumnya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat