unescoworldheritagesites.com

Penegakan Hukum Kita Masih Carut Marut? - News

: Praktisi hukum Sudiman menilai bahwa penegakan hukum kita sampai saat ini masih carut marut. Antara lembaga penegakan hukum yang satu dengan lainnya tidak saling mendukung menunjukan penegakan hukum itu tidak sistematis dan idealis.

“Bahkan adakalanya tampak bertolak belakang,” ujar Sudiman di Jakarta, Sabtu (7/5/2022). Masyarakat pun melihat itu sebagai sesuatu yang tidak sinkron.

Menkopolhukam Mahfud MD pun mengakui bahwa tidak mudah bagi pemerintah untuk memperbaiki persepsi publik atau kinerja penegakan hukum secara umum. Pasalnya, penegakan hukum terbagi ke dalam beberapa lembaga.

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, sesungguhnya lembaga-lembaga penegak hukum di internal pemerintah terus berkoordinasi serta memilah-milah isu, termasuk menerapkan keadilan restoratif pada beberapa kasus. Namun, di sisi lain kerja keras lembaga penegak hukum pemerintah sering dimentahkan oleh lembaga peradilan atau Mahkamah Agung (MA) yang putusannya tak jarang dipersoalkan oleh publik.

Mahfud mencontohkan soal putusan atas pengurangan masa hukuman seorang terdakwa di MA. “Misalnya, Kejaksaan Agung bekerja habis-habisan, bisa membuktikan pada akhirnya oleh Mahkamah Agung (terdakwa divonis) dilepaskan atau dikurangi hukumannya,” ungkapnya.

Kondisi ini biasanya membuat masyarakat lebih menyalahkan pemerintah. Padahal, katanya, itu bukan bagian kewenangan lembaga eksekutif. “Kadang kala orang bicara ‘wah hukum di Indonesia hancur, hukum di Indonesia apa’, yang dituding lagi kan kita, eksekutif, padahal kita enggak boleh masuk ke sana,” katanya.

OC Kaligis pun berpandangan sama dengan Sudiman. Karenanya, dia mengirim surat ke Komisi III DPR RI. Dia menyampaikan sejumlah hal. Sebagai eks warga binaan atau mantan narapidana, masyarakat kerap memberi label negatif bagi mereka yang kembali terjun ke masyarakat.  Orang awam tak menyadari bahwa banyak yang dijebloskan ke Lembaga Permasyarakatan hanya karena alasan politik tanpa merugikan uang negara sama sekali.

Dalam suratnya, dia menunjuk eks Gubernur Papua, Barnabas Suebu, yang dihukum karena kebijakan yang dibuatnya selama menjabat sebagai Gubernur. Menjadi pertanyaan, kok kebijakan yang tak pernah terlaksana bisa dihukum? Terlebih lagi di ujung masa tugasnya DPRD selaku mitra Gubernur memberi persetujuan atas segala tindakannya selama bertugas. Saat di Lapas, Barnabas Suebu masih mempertanyakan mengapa dia dituduh korupsi tanpa adanya satu sen pun bukti kerugian negara.  Bagaimana perasaan Gubernur yang pernah memperjuangkan Papua agar tetap menjadi bagian NKRI, tiba-tiba merasa dikhianati oleh NKRI melalui rekayasa peradilan? Barnabas sangat menyesali tindakan pengadilan yang menzolimi dirinya. Ia dengan tegas menyatakan menyesal menjadi bagian dari NKRI.

 Lain pula keluhan Jero Wacik. Dia divonis karena Dana Operasi Menteri yang sudah jadi haknya. Kesaksian mantan Presiden SBY serta mantan Wapres Jusuf Kalla yang tegas menyatakan Jero Wacik tidak merugikan negara dikesampingkan oleh pengadilan. Jelas Jero Wacik yang hidupnya bersahaja sangat dikecewakan putusan itu. Ada lagi Irman Gusman. Suatu malam datang berkunjung seorang tamu yang merasa punya hubungan untuk satu kasus padahal beliau sama sekali tidak punya kewenangan dengan kasus tersebut. Sebagai Ketua DPD, Irman Gusman tidak berwenang memberi keputusan mengenai masalah gula, yang menjadi wewenang Kepala Bulog. Karena uang tersebut bukan suap, bukan gratifikasi, mestinya Irman Gusman tidak bisa dijerat selaku tersangka korupsi.

Eks Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dalam bukunya yang bertajuk “Divonis Tanpa Bukti” memunculkan sejumlah argumentasi dan membuktikan bahwa memang sampai saat divonis, tak satu bukti kerugian negara yang dapat dimajukan jaksa untuk menuntut dan akhirnya memvonis Ridwan Mukti.

Kasus Suryadharma Ali kurang lebih sama. KPK terus menuntut meski hasil pemeriksaan BPK sudah nyatakan kerugian negara adalah nihil. Bahkan KPK merekayasa barang bukti dengan hanya selembar potongan Kiswah. Kasus Suryadharma Ali adalah kasus politik, karena hubungannya tidak harmonis dengan Komisi VIII DPR RI. 

Kasus Indar Atmanto yang bermula dari laporan Denny AK, Ketua LSM KTI, yang terbukti melakukan pemerasan terhadap Indosat seperti tertuang dalam putusan PN Jakarta Selatan tanggal 3 Oktober 2013. Denny AK divonis 1 tahun 4 bulan. 

Dalam kasus Indar Atmanto, pihak aparat penegak hukum berkoordinasi dan mendengar pendapat dari Kementerian terkait, khususnya Kementerian Telekomunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) selaku regulator, pembina dan pengawas dalam pembangunan telekomunikasi di Indonesia. Kasus ini menjadi sangat menarik karena pihak kemenkominfo menilai tidak ada pelanggaran dalam kontrak kerja sama antara penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi serta peraturan terkait di bawahnya.

Menkominfo Tifanul Sembiring pun secara tegas mengatakan dalam surat resmi bahwa hubungan bisnis Indosat dan IM2 telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Seandainya hakim yang memutus mengerti duduk kasus dan mempertimbangkan pendapat Menteri serta para ahli dalam bidang komunikasi dan informatika, kasus ini mestinya tidak layak dibawah ke ranah pidana. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat