unescoworldheritagesites.com

Restorative Justice Semakin Memasyarakat Dan Dijadikan Penyelesaikan Perkara - News

: Restorative justice kini kian memasyarakat dan dinilai tepat oleh pihak-pihak yang bersengketa selesaikan masalahnya. Hal itu tentu juga menggembirakan Kejaksaan Agung, tepatnya Jampidum Kejaksaan Agung, Dr Fadil Zumhana SH MH. Terbukti, terakhir ini Jampidum kembali menyetujui penyelesaian restorative justice untuk enam perkara pidana umum dari sejumlah daerah atau wilayah hukum.

“Ada enam kasus sudah dilakukan gelar perkara (ekspose) yang dipimpin langsung oleh Jampidum Fadil Zumhana,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, Senin (6//6//2022). Keenam berkas perkara itu dinilai tepat untuk dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restorative justice atau keadilan restorative.

Para tersangka yang mendapat keadilan restorative itu masing-masing Yohanes Andreas Rimas Gadu Bin Siprianusdari dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Manggarai yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan, tersangka Muhammad Filsafat dari Kejari Sumba Timur dipersalahkan melanggar Pasal 5 huruf a Jo. Pasal 44 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Subsider Pasal 44 Ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Berikutnya, tersangka Yorhans Maraden Mokoginta Fello alias Hansdari Kejari Kabupaten Kupang yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan dan tersangka Andy alias Segar anak dari alm. Balang Segar dari Kejari Tarakan yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

Selanjutnya tersangka Muhammad Nur Kadir alias Nur dari Kejari Minahasa yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan dan ersangka Jeni Neni Mamahit dari Kejari Minahasa Selatan yang disangka melanggar Pasal335 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman.

Ketut Sumedana menyebutkan bahwa alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf, tersangka belum pernah dihukum; tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya; proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi. Selain itu, tersangka dan korban juga setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. Landasan lain, pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif.

Menurut Ketut Sumedana, Jampidum juga menyebutkan bahwa proses prapenuntutan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan harus dipahami benar kasus tersebut. Dengan begitu maka dapat diketahui treatment penyelesaiannya (apakah disetujui untuk penyelesaian melalui restorative justice atau dilimpahkan ke pengadilan). “Proses prapenuntutan yang baik akan menimbulkan hasil penuntutan yang baik pul,” demikian Fadil Zumhana sebagaimana ditirukan Ketut Sumedana.

Ketut Sumedana mengungkapkan bahwa Jampidum Kejaksaan Agung Fadil Zumhana sebelumnya telah memerintahkan para Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jam Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. Lanjutannya sudah ratusan terdakwa tidak harus menjalani hukuman dan saksi korban tidak repot bersaksi di pengadilan oleh karena perkaranya dapat diselesaikan dengan asas restorative justice.*** 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat