unescoworldheritagesites.com

Harapan Baru Hukum Pidana Indonesia, Pakar: DPR Segera Sahkan RUU KUHP - News

Harapan baru Hukum Pidana Indonesia, Pakar Hukum dari Universitas Diponegoro (Undip) Prof Dr H R Benny Riyanto mendorong DPR segera mensahkan RUU KUHP  (AG Sofyan )

 
 
: Harapan baru Hukum Pidana Indonesia, Pakar mendorong DPR segera mensahkan belied baru hukum pidana tersebut.
 
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Prof Dr H R Benny Riyanto SH MHum CN  mengatakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana  (KUHP) baru penting untuk mengikuti  pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana, yaitu dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban), dan rehabilitatif (bagi keduanya).
 
 
Salah satu pandangan dari Pakar Hukum tersebut menanggapi Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang masih menimbulkan pro dan kontra sehingga ditunda untuk disahkan.
 
RUU KUHP tersebut sebenarnya perlu segera disahkan untuk mengikuti pergeseran paradigma hukum pidana. Ruang bagi masyarakat menyampaikan masukan pun tetap terbuka untuk dikritisi, disempurnakan, dan dicarikan solusi politik di parlemen.
 
 
Rencana pengesahan RUU KUHP menjadi undang-undang yang sempat tertunda pada 2019 lalu, sejatinya mendapat dukungan dari berbagai kalangan.  
 
Para pemuka agama, wakil rakyat, hingga pakar hukum menilai bangsa Indonesia membutuhkan hukum pidana baru yang  lebih sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. 
 
RUU KUHP adalah salah satu RUU peninggalan DPR periode 2014-2019 yang batal disahkan pada hari-hari terakhir.  
 
 
RUU ini sejatinya akan disetujui DPR pada rapat paripurna 2019.  Tapi saat itu, Presiden Joko Widodo meminta DPR menunda pengesahan RUU KUHP bersama 3 RUU lainnya, yakni RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Minerba karena menuai penolakan masyarakat.
 
Sikap itu disampaikan Jokowi setelah menerima para pemimpin DPR serta perwakilan fraksi dan komisi DPR di Istana Merdeka pada 23 September 2019. 
 
 
"Ditunda pengesahannya supaya  kami bisa mendapat masukan-masukan maupun substansi yang lebih baik dan sesuai keinginan masyarakat," kata Jokowi kala itu.
 
Prof Benny Riyanto yang sebelumnya adalah Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM itu kembali menyampaikan alasan tertundanya pengesahan RUU KUHP pada 2019 terjadi lantaran protes terhadap minimnya pelibatan partisipasi publik dan beberapa pasal kontroversial. 
 
 
Menjawab protes publik, Prof Benny memastikan selama penyusunan RUU KUHP pemerintah sudah banyak  melaksanakan sosialisasi ke berbagai ibu kota provinsi  melalui kegiatan diskusi dan seminar.   
 
“Pembentukan RUU KUHP  sudah memenuhi asas meaningful participation atau partisipasi yang bermakna,” kata dia. 
 
Partisipasi yang bermakna mencakup tiga unsur, yaitu hak untuk didengar, hak untuk mendapat penjelasan, dan  hak untuk dipertimbangkan.
 
 
Prof Benny menyebut, beberapa rumusan norma dalam RUU KUHP telah pula mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil.
 
Contohnya adalah rumusan norma dalam pasal tentang penodaan agama dan aborsi. Selain itu RUU KUHP juga memasukkan norma terkait tindak pidana khas Indonesia, misalkan  menyatakan diri memiliki kekuatan ghaib yang dapat mencelakakan orang lain.
 
RUU KUHP juga mengakomodasi nilai-nilai budaya bangsa. 
 
 
Dalam RUU KUHP Pasal 477, contohnya, terjadi perluasan norma yang selaras dengan nilai-nilai  budaya bangsa, yaitu bahwa persetubuhan dengan anak di bawah umur 18 tahun, walaupun dengan persetujuan, dikategorikan sebagai tindaka perkosaan.
 
“Bahkan perbuatan cabul tertentu juga dianggap perkosaan. Tapi hal yang paling penting dalam RUU KUHP adalah memasukkan norma yang melindungi Pancasila," jelasnya.
 
        
Alhasil, Prof Benny menyebutkan, berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, RUU KUHP sudah sangat ideal sebagai basis norma hukum pidana nasional.
 
“Maka perlu segera disahkan, mengingat anggota DPR pada tahun 2022 ini masa sidangnya tinggal dua kali lagi," ungkap alumni FH Undip ini.
 
Produk Kolonial Diganti
 
Hal senada juga disampaikan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Polisi (Purn) Prof Dr Budi Gunawan, SH.M.Si.
 
 
Menurutnya KUHP peninggalan jaman kolonial Belanda yang masih dipakai sampai saat ini secara politik hukum belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa apalagi nilai-nilai dasar Falsafah Negara yaitu Pancasila.
 
"Oleh karenanya, semua produk hukum kolonial perlu segera diganti dengan produk hukum nasional," tegas Budi.
 
Lebih lanjut, Budi Gunawan menjelaskan bahwa gagasan pemerintah untuk mengajukan RKUHP kepada DPR merupakan kehendak yang patut diapresiasi, karena sejak digagas tahun 1964 oleh Para Guru Besar dan Ahli Hukum Pidana, RKUHP ini merupakan suatu perubahan sistem hukum pidana yang dinamis sifatnya, baik dari sisi tempat (place), ruang (space), dan waktu (time).
 
 
Karena itu, pembaruan hukum pidana melalui RKUHP, jelas Budi Gunawan, tidak saja mempertimbangkan faktor asas demokratisasi, modernisasi dan dekolonisasi sistem Hukum Pidana, tetapi juga mempertimbangkan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku dan hidup dalam masyarakat  atau living law (adat), yang ke semua ini dilakukan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi Hukum Pidana.
 
"Bahkan, RKUHP telah mengantisipasi pengaruh globalisasi yang universal di bidang ekonomi dengan dampak dan efeknya pada peran kompetensi hukum pidana," tutur Jenderal Polisi ini.
 
 
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Marcus Priyo Gunarto menyebut potensi perbedaan pendapat rumusan delik dalam RUU KUHP adalah hal yang wajar. 
 
“Tetapi jika kita bersedia melihat berbagai kepentingan yang ingin dilindungi di balik rumusan delik yang telah digagas para guru besar hukum pidana sejak 1964, mungkin kita baru mengerti maksud dan tujuan dari rumusan delik tersebut,” ungkapnya.
 
Marcus lalu menyarankan agar proses sosialisasi RKUHP mutlak diperlukan. 
 
 
“Bahkan setelah disahkan sebagai undang-undang sekalipun, penyuluhan hukum pidana baru tetap diperlukan,” tandasnya. 
 
Guru Besar Fakultas Hukum Undip Benny Riyanto menegaskan RUU KUHP sengat ideal sebagai basis norma hukum pidana nasional. 
 
Dia mendorong DPR segera mengesahkan belied baru hukum pidana. 
 
 
“Mengingat DPR pada 2022 menyisakan dua masa sidang,” katanya.
 
Pemerintah, kata Benny, sudah melaksanakan meaningful participation.
 
“Andaikata ada ketidakkelengkapan dari RUU KUHP masih tersedia mekanisme revisi undang-undang bahkan kalau ada norma yang dianggak keliru bisa melalui uji di Mahkamah Konstitusi,” tuturnya. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat