unescoworldheritagesites.com

Aklamasi Saat Munas Golkar bagi Airlangga (bukan) Solusi bagi Jokowi (dan inner circle) - News

Justino Djogo, MA.MBA  (AG Sofyan)

Oleh:  Justino Djogo, MA.MBA

: Pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar sesuai jadwal adalah di bulan Desember 2024.
 
Memang masih lama perhelatan Munas Golkar 5 tahunan tersebut paska pelantikan Prabowo Subianto (PS) sebagai Presiden dan Gibran Rakabuming Raka (GRR) sebagai Wakil Presiden terpilih dalam pemilu 14 Februari 2024 lalu. 
 
Namun dinamika yang terjadi di tubuh partai berlambang Pohon Beringin ini, masih juga ada yang menghubungkan antara Munas Golkar dan "cawe-cawe" Jokowi.
 
 
Cawe-cawe Presiden RI dua periode ini bisa menjadi solusi atau justru berakibat prahara bagi Jokowi sendiri yang akan lengser sebelum Munas Golkar digelar. 
 
Kita bayangkan saja, Golkar adalah partai politik pertama yang mendeklarasikan Gibran Rakabuming Raka, sang putra Jokowi yang masih  muda belia di belantara politik alias hanya masih seumur jagung, kira-kira 3 tahunan baru menjadi Wali Kota Solo dan kini terpilih menjadi Wapres 2024-2029. Tapi itulah takdirnya dan kita tidak bisa mendebat takdir Tuhan tersebut. 
 
Sementara Airlangga Hartarto sebagai pemegang mandat Partai Golkar dengan akrobat politiknya yang lihai, ternyata berhasil meyakinkan internal Golkar, termasuk di DPD Partai Golkar Provinsi, Kabupaten/ Kota bahwa GRR adalah layak jadi bacawapres atau bakal calon presidennya Prabowo Subianto usungan Koalisi Indonesia Maju (KIM) . 
 
 
Bahkan, semua ketua umum parpol di KIM yang semula heboh mengiklankan diri menjadi Bacawapres Prabowo Subianto akhirnya layu sebelum berkembang. Seperti kuntum mawar dari tangkai yang penuh duri. 
 
Politik memang seperti bunga mawar. Enak dipandang bunga kekuasaannya, tapi sakit jika sudah tertusuk duri akibat virus politik saling "menyandera" dan "tersandera".
 
Mungkin kehebohan selama ini tentang GRR tak perlu dirisaukan Airlangga. Karena semua ketua umum parpol di kubu KIM bisa tetap mandiri, masih setia kawan, dan tentu saja akan lebih mementingkan kinerja partainya di parlemen nanti. 
 
 
Apalagi sang pemenang pemilu legislatif 2024 di kursi Senayan adalah PDI Perjuangan, motor utama koalisi partai-partai yang mengusung dan mendukung pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD di Pilpres 2024 yang notabene adalah lawan tandingnya pasangan capres dan cawapres usungan KIM. 
 
Jadi, yang merasa risau dari kemenangan Prabowo-Gibran dari kacamata penulis sejatinya adalah tim di Jokowi. Kenapa seperti itu? 
 
Ini karena anak sang penguasa pemerintahan selama dua periode itu, saat sekarang sudah semakin menjauh dengan partai penguasa (PDIP) yang selama telah mengorbitkannya. 
 
Sedangkan dia bisa jadi khawatir paska tak berkuasa per Oktober nanti, pengaruhnya di partai-partai pendukung anaknya di pemerintahan akan semakin pudar. 
 
 
Dari  perspektif politik yang pragmatis, presiden dan wakil presiden terpilih lebih terasa percaya diri dan semakin mantap jika bisa kuat berafiliasi dalam partai-partai pendukung pemeritah agar tidak direcoki dan bahkan dijahili di Senayan.
 
Prabowo Subianto tentu posisinya sangat aman dan kuat. Tampuk kekuasaan sebagai Presiden sudah di tangan dan sebagai Ketua Umum Gerindra, partai yang dia lahirkan dan dia besut sudah semakin kokoh sebagai partai di urutan tiga besar bersanding dengan partai-partai senior PDIP dan Golkar. 
 
Lalu bagaimana dengan posisi Gibran Rakabuming Raka sang wapres? Bisa dibayangkan, mungkin ini dalam angan-angan para Tim Inti Jokowi perlu sekali melirik posisi di Golkar demi anaknya, GRR. 
 
Kelihatan sepele namun ini sangat krusial dan berantakan jika Jokowi tergoda nyanyi sunyi para tim inner circle-nya.
 
 
Untung saja, beberapa pekan lalu Jokowi menegaskan tak akan tertarik nimbrung kekuasaan di Golkar.
 
Gute Entscheidung, Herr Praesident!
 
Pemimpin itu tenyata juga butuh sorak sorai pendukungnya, ya partai politik (parpol)-nya sendiri. Bukan parpol pendukung ketika digelar pemilu. 
 
Namun, ini semua telah berlalu.  Prabowo punya Gerindra tapi Gibran punya tak punya partai. Lalu apa yang akan dilakukan. 
 
Airlangga (bukan) Solusi Bagi Jokowi 
 
Kembali ke Munas Partai Golkar Desember 2024 nanti. Tentu saja seruan internal partai agar kompak menyuarakan aklamasi bagi Airlangga makin massif digaungkan bukan saja karena alasan besutan dan tangan dinginnya yang membuat semua kader Beringin kompak dan solid sehingga Golkar mampu menorehkan prestasi dalam Pemilu 2024, baik pilpres dan pileg. 
 
 
Namun bukan tidak mungkin godaan kekuasaan para inner circle Jokowi bukan isapan jempol belaka. Ada benarnya jika gerakan bawah tanah mereka telah siapkan. 
 
Operasi senyap, bahkan persuasi media massa juga mereka intensifkan. Pernyataan seperti pengkultusan Jokowi adalah pemimpin terbaik yang dipunyai republik seperti tak ada orang lain lagi yang bisa menggantikan, terus berhembus. 
 
Sedikit dipoles dengan prospek proyek Ibu IKN atau Ibu Kota Negara Nusantara
dan infrastruktur yang begitu massif dikerjakan di masa Jokowi seolah mampu membius rakyat bahwa tanpa peran sentral eks Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, semua yang ada saat sekarang di Republik tidak pernah ada dan tercapai. 
 
Dan propaganda ini pun juga menjadi target mengambil partai-partai besar seperti Golkar. 
 
 
Mengapa inner circle Jokowi berambisi mengincar Golkar. Ini susah-susah gampang menjawabnya. 
 
Kembali ke PDIP, rasanya kecil kemungkinannya untuk bisa "mendongkel" Megawati Soekarnoputri dari tampuk kekuasaan partai Banteng Moncong Putih. 
 
Lalu bagaimana jika Partai Solidaritas Indonesia (PSI)? 
 
Publik sudah paham jika PSI dibikin untuk memberikan "karpet merah" bagi keturunan Jokowi, khususnya Kaesang Pangarep, sang putra bungsu.
 
Dan Jokowi realistis tak akan berdampak banyak jika dia mengambil PSI. Apalagi PSI gagal alias tidak lolos ke Senayan.
 
Sebenarnya lebih tepat Jokowi kembali ke Solo saja sembari mengarahkan putra sulung, GRR secara informal tanpa menimbulkan kekisruhan baru di Pemerintahan Prabowo mendatang. 
 
Alasan ini yang memberikan konklusi penulis tidak yakin bahwa Jokowi akan menghilang dari peredaran politik bangsa ini. 
 
 
Mengapa Airlangga bukan solusi bagi Jokowi?
 
Sederhana saja jawabannya. Ketika Airlangga kembali menjadi Ketua Umum Golkar kelak pada Munas mendatang, Jokowi sebagai Bos Airlangga di Kabinet Indonesia Maju saat itu pun sudah bukan presidennya lagi. 
 
Lagian Golkar pun bukanlah parpol yang identik dengan trah politik tertentu jika Jokowi ingin memaksakan kehendaknya. 
 
Meskipun di beberapa level kepemimpinan Partai Golkar ini, pernah terjadi distorsi namun untuk posisi Ketum Golkar, tidak pernah terjadi saat  Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Aburizal Bakri secara eksplisit menyiapkan putra-putri atau famili mereka untuk menjadi Ketua Umum Golkar.
 
Dalam perspektif ini dapat disimpulkan bahwa Airlangga bukanlah solusi bagi Jokowi untuk meneruskan cakar politiknya seperti didambakan para inner circle Jokowi dan kroninya. 
 
 
Lalu apakah lebih baik Jokowi melahirkan parpol baru untuk legacy-nya sendiri?
 
Penulis tidak ingin berandai-andai bahwa parpol besutan Jokowi dapat mempreteli apalagi mencabik-cabik dinding partai sekuat PDIP kelak, sebagai partai awal Jokowi berkiprah di politik yang mengantarkannya dari Wali Kota Solo menjadi Presiden RI dua periode melalui jalur tol politik. Sekali lagi, jalur tol itu terulang bagi GRR melalui usungan partai-partai dalam KIM.
 
Saya hanya berpikir logis dan realistis, bahwa gaya dan political style Jokowi dan SBY sangat mirip dan itu sah-sah saja. Bahasa gaulnya politik sayang anak. 
 
Tidak apa-apa asalkan berkualitas dan mampu diuji waktu. Karena hanya waktu yang dapat membuktikan apa saja, siapa saja di alam semesta, termasuk semesta mini bernama kehidupan politik. ***
 
* Justino Djogo, MA.MBA- Direktur Eksekutif Forum Dialog Nusantara (FDN) 

 

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat