unescoworldheritagesites.com

Takdir Prabowo Antara Benang Kusut Menjelma Jadi Benang Merah - News

Justino Djogo, MA.MBA (AG Sofyan)

Oleh:  Justino Djogo, MA.MBA

: Semenjak kepulangan Prabowo Subianto dari pengungsian politik di Yordania awal tahun 2000-an paska jatuhnya Presiden Soeharto, disambut aneka tanya dan sindiran publik. 
 
Menurut beberapa sumber terpercaya, tokoh-tokoh nasional seperti Gus Dur, Taufik Kiemas dan juga Susilo Bambang Yudhoyono konon berhasil meyakinkan Prabowo kembali ke pangkuan Bumi Pertiwi.
 
Namun mengapa dan kenapa tokoh bangsa tersebut mau terlibat "memulangkan" Mantan Danjen Kopassus ini, saya kira tak perlu dijelaskan lebih detil soal ini.
 
 
Pelan tapi pasti Prabowo mulai menjahit kembali benang kusut karir militer yang berakhir secara tak menggembirakan dan mulai merajut helai demi helai benang merah perjuangan politiknya. 
 
Secara implisit para pengkritiknya menamakan momen "pengembaraan" politik dan mengembalikan citra heroik sebagai prajurit pun datang.
 
Singkatnya, ketika ada perusahaan  raksasa nasional yang  bangkrut dan hampir saja dilelang ke konsorsium perusahaan asing, muncullah Pak Prabowo di Istana Wapres RI untuk bertemu Pak Jusuf Kalla, dengan segudang hasrat untuk menyelamatkan perusahaan tersebut. 
 
 
"Daripada jatuh ke tangan asing, mending kembali ke pundak anak negeri sendiri." 
 
Kira-kira seperti itu motivasi dan latar belakang hasrat Jenderal Purnawirawan TNI AD ini. Rasa dan nyata terlihat jelas jiwa heroik dan nasionalisme Prabowo.
 
Takdir pun menyirami ladang dedikasi  Prabowo, seiring didapuk menjadi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Dari sini pula Prabowo yang menjadi mantu Pak Harto karena menikahi Siti Hediati Hariyadi alias Titik Soeharto ini makin dekat dengan dunia pertanian dan perikanan sehingga tak ayal Prabowo akrab dijuluki sebagai Jenderal Petani dan Komandan Para Nelayan.
 
 
Pengembaraan Politik Prabowo
 
Seiring detak jantung demokrasi yang memacu lahirnya banyak parpol,  Prabowo yang pernah menjadi elit Partai Golkar di era Ketua Umum Akbar Tanjung, kemudian berpamitan dengan partai senior yang membesarkannya tersebut, kemudian mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sebagai alat perjuangan dan merebut kekuasaan untuk rakyat 
 
Dalam konteks ini, Saya tidak mengatakan Prabowo pamit dari Beringin bukan sebagai akibat kekalahannya dalam konvensi Golkar tahun 2004.
 
Namun saya pandang ini sebagai pintu gerbang takdir Prabowo yang mengantarkannya selama menunggu waktu hingga 20 tahun tersebut akhirnya pada Pemilihan Presiden (Pilpres) di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ini menjadi pemenangnya dari versi quick count sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU). 
 
 
Lagi-lagi takdir-lah yang berpihak pada Pak Prabowo. Karena sampai sebulan sebelum pendaftaran ke KPU, Menteri Pertahanan RI ini tidak dapat memutuskan siapa Calon Wakil Presiden (Cawapresnya). 
 
Toh, akhirnya kita semua tahu siapa cawapresnya, sekali pun diselimuti sejuta misteri dan polemik terkait cawapresnya. Namun takdir sepertinya telah memenangkan Prabowo, untuk sementara waktu sambil menunggu
Pengumuman rekapitulasi hasil Pemilu 2024 secara nasional: 22 Februari 2024 - 21 Maret 2024 dan pengumuman Presiden dan Wakil Presiden terpilih Pemilu 2024.
 
Minimal kita dapat  menyaksikan jejak takdir yang memuluskan langkahnya melalui Pak JK (Jusuf Kalla) dan Pak Jokowi yang bahkan rela menyodorkan putranya untuk menjadi Cawapres Prabowo. Kali ini, saya fokus hanya pada jalan panjang pengembaraan politik putra ekonom terkemuka dan Menteri era Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) Soemitro Djojohadikusumo ini 
 
 
Takdir Tambahan: Jenderal Kehormatan Bintang Empat
 
Saya masih ingat momen Pak Prabowo menerima takdir dengan senyuman menyalami para anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dan jajarannya yang memberhentikannya dengan hormat di tahun 1998
 
Bahkan beberapa jenderal kawakan seperti Wiranto, Agum Gumelar,  Hendropriyono juga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini pun ada dipihaknya dalam kontestasi Pilpres 2024.
 
Saya sangat tidak yakin bahwa Pak Prabowo tak pernah mengira bahwa akan mendapat anugerah jenderal kehormatan bintang empat.
 
Saya pikir, pemberian bintang empat jenderal kehormatan bukanlah karunia yang tiba-tiba jatuh dari langit.
 
 
Bukankah di tahun 2022 lalu, Pangkostrad ke 22 ini sudah diberi anugerah Bintang Yudha Dharma Utama, penghargaan tertinggi dalam dunia militer di Indonesia.
 
Banyak analis yang menilai karir militernya mulai berakhir ketika  almarhum BJ Habibie, Presiden ke 3 RI menandatangani surat pemberhentian dengan hormat sebagai Pangkostrad.
 
Saya pun kembali meyakini bahwa Pak Prabowopun tidak menyangka dan juga tak akan dendam terhadap Profesor Habibie yang menandatangani pemberhentiannya sebagai Pangkostrad atas rekomendasi Panglima ABRI, Jenderal TNI Wiranto. 
 
Sejarah yang mengkondisikannya. Bukan oleh siapa-siapa namun oleh takdir ilahi. 
 
 
Setelah mengikuti 4 kali kontestasi Pilpres, dapat saya katakan bahwa Prabowo Subianto bukanlah pendendam. Dia baik-baik saja ketika orang kepercayaannya, seperti Sandiaga Uno maupun Sudirman Said pada tahun 2019 berjibaku bersamanya. 
 
Meski pada panggung Pilpres 2024, kedua karib Prabowo itu musti pindah untuk tidak mendukung Paslon 02 ini menjadi Presiden dan Wapres RI mendatang. 
 
Mereka pisah baik-baik dan itupun akan baik baik saja setelah pemilu. 
 
Apalagi kita dengar bahwa akan terjadi Koalisi Besar Prabowo-Gibran, yang bahkan telah diwanti-wanti oleh  Sudirman Said, eks Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Kabinet Jokowi-JK ini. 
 
 
Apakah ini pertanda baik? Janganlah kita ceroboh menilainya.
 
Pelan tapi pasti, bisa kita tarik benang kusut yang menjelma kembali oleh takdir  menjadi benang merah yang kuat dalam perjalanan militer dan politik seorang Prabowo.
 
Kita juga tak dapat menyalahkan siapapun tapi menyaksikan jiwa patriotnya.
 
Sekali lagi, Prabowo bukanlah pendendam dan Saya yakin masih konsisten mengutamakan kepentingan nasional. Apalagi, Panglima TNI 2015- 2018, Jenderal Moeldoko mengatakan bahwa, jika di kemudian hari ada bukti yang bisa menganulir pemberian bintang jasa militer seseorang, maka itu pun akan berlaku untuk Prabowo Subianto. 
 
 
Kita memang menganut egalitarianisme, meskipun sedikit kadang dikejutkan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tentang soal ini kita bahas di kesempatan lain.
 
Bukankah kita juga telah saksikan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra SBY, baru saja dilantik menjadi Menteri ATR/BPN. Ini hak prerogatif Presiden. 
 
Tentu ada jasa pula Prabowo dalam hal ini. Siapa meragukan kedekatan Prabowo dan Jokowi? Meskipun hak prerogatif Presiden Jokowi mengangkat AHY menjadi menteri adalah hak subjektifnya. 
 
Padahal kita juga paham bahwa Partai Demokrat itu sejatinya saat itu bukan di kubu Jokowi saat tahun 2019 lalu.
 
 
Lalu mengapa Presiden Jokowi buru-buru mengangkat AHY sebagai Menteri di Kabinet Indonesia Maju untuk 8 bulan sisa masa jabatannya? 
 
Lagi-lagi, pertanyaan, apakah ini ada "restu" Prabowo. Ya, tentu saja ada c
"cawe-cawe"-nya.
 
Bukankah saat hari pendaftaran Capres-Cawapres sebelum ke KPU, Prabowo masih menyempatkan bertemu SBY meski hanya beberapa menit saja, meskipun Partai Demokrat baru saja bergabung mendukungnya. 
 
Mari kita tarik benang merahnya.
 
Atau beberapa momen ketika Prabowo berinteraksi dan berdiskusi  di Kadin Indonesia atau ketika ada acara di Golkar dengan  Ilham Habibie, putra mendiang BJ Habibie, yang menurutnya akan meneruskan cita-cita ahli konstruksi pesawat terbang dunia ini dalammengembangkan industri dirgantara nasional. Tidak ada sekat emosional masa lalu antara Prabowo dengan BJ Habibie, termasuk kepada pewarisnya, Ilham Habibie. Yang ada hanyalah masa depan bangsa ini.
 
 
Prabowo memang tokoh nasionalis dan patriotik. Tanpa ada aura dan aroma dendam politik.
 
Sebagai bangsa yang besar, kita membutuhkan Presiden yang patriotik, sebagai penyatu dan nasionalis sejati.
 
Benang kusut yang telah kembali dijahitnya, sudah dilanjutkan lagi menjahit benang merah yang kita saksikan saat ini. 
 
Kita doakan Prabowo akan menjadi RI 1, Presiden ke 8 NKRI. Hanya takdirlah yang membuatnya menjadi mungkin.***
 
* Justino Djogo, MA.MBA- Direktur Eksekutif Forum Dialog Nusantara (FDN) 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat