unescoworldheritagesites.com

Ancaman Konsumtif - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)


Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi 

: Ramadhan tahun ini bersamaan antara Muhammadiyah dan NU mulai Kamis 23 Maret dan Presiden Jokowi sudah memberikan pengarahan kepada pejabat negara untuk tidak melaksanakan buka bersama.

Di satu sisi, arahan ini bermaksud baik ditengah kritik atas perilaku hedonisme sejumlah oknum pejabat negara dan pastinya arahan ini tidak secara langsung mereduksi  kekhusyukan - hikmah ramadhan, meski di sisi lain belum sepekan ramadhan konsumen semakin tidak berdaya saat harga sembako naik dan akan berlanjut selama ramadhan sampai lebaran. Hal ini terjadi tiap tahun sehingga muncul pertanyaan apakah pemerintah tidak bisa mengontrol harga sehingga terjadi inflasi musiman selama ramadhan – Idul Fitri?

Inflasi musiman ramadhan – Idul Fitri dipengaruhi banyak faktor sehingga campur tangan pemerintah menjadi penting, terutama untuk memetakan faktor pemicunya. Inflasi cenderung dipicu kelompok inti dan volatile food sehingga menjadi penting untuk bisa menjaga sinergi dengan kebijakan moneter BI, pengendalian inflasi antara BI dan Pemerintah Pusat - Daerah dan mitra strategis melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP - TPID) termasuk juga Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah secara berkelanjutan.

Baca Juga: Kemewahan Vs Keresahan

Pemerintah juga pernah mengeluarkan Perpres no 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting untuk kendali laju ancaman inflasi musiman di bulan ramadhan – Idul Fitri. Identifikasi dari persoalan klasik inflasi musiman ramadhan – Idul Fitri sebenarnya ada 2 yaitu faktor subyek dan faktor objek. Pemahaman faktor subjek adalah konsumen yaitu umat muslim yang beribadah puasa ramadhan – Idul Fitri.

Ketika subyek mampu mengontrol perilaku konsumsinya, maka fluktuasi terhadap  harga sembako tidak drastis selama ramadhan – Idul Fitri. Ironisnya, subyek ini justru
semakin tidak terkontrol melakukan perilaku konsumsi. Padahal, logika riil yang ada justru seharusnya konsumsi selama ramadhan berkurang karena melakukan puasa. Fakta yang terjadi justru terbalik, semua mata rantai yang terkait dengan model konsumsi justru  berkembang. Bahkan, penjual takjil di jalanan dan kampung-kampung laris manis dengan
berbagai menu kulinernya.

Begitu pentingnya faktor subyek dalam kasus ancaman inflasi musiman ramadhan – Idul Fitri maka seharusnya ulama bisa menyampaikan pesan moral agar tidak ada lonjakan harga yang memicu sentimen negatif terkait kemiskinan dan ancaman kejahatan sosial. Oleh  karena itu perilaku hedonis yang ditampilkan oknum pejabat sebulan terakhir yang viral patut direduksi karena bisa memicu kecemburuan sosial.

Baca Juga: Urgensi Pendataan

Urgensi pesan moral dari ulama sangat penting sehingga ada kesadaran kolektif dari umat untuk tidak melakukan konsumsi berlebihan. Paling tidak konsumerisme yang terjadi selama ramadhan memang menjadi indikator riil terkait lemahnya keterlibatan subjek dalam menekan laju inflasi musiman selama ramadhan - Idul Fitri. Beralasan jika pemahaman tentang balas dendam saat buka puasa menjadi faktor riil dibalik konsumerisme selama ramadhan – Idul Fitri.

Mencermati problem inflasi musiman ramadhan – lebaran dan nataru bahwa laju inflasi januari 2023 yaitu 0,34% (month-to-month atau mtm) dan pebruari 2023 yaitu 0,16% (mtm). Data inflasi Maret memang belum keluar dan tetapi rentan terkait inflasi triwulan I 2023 yang bersamaan ramadhan. Data inflasi ramadhan - lebaran per April 2022 yaitu 0,95 persen (tertinggi periode ramadhan sejak 2017) dan inflasi Mei 2021 sebesar 0,32 persen (terdampak ramadhan - Idul Fitri). Selain itu, juga perlu mencermati jumlah uang beredar selama ramadhan – lebaran karena berpengaruh terhadap perdebatan inflasi yang kemudian
rentan terhadap belit daya beli masyarakat.

Data BI uang tunai layak edar yang disiapkan BI Rp 175,26 triliun naik 13,42% year on year (yoy) bila dibandingkan dengan periode lebaran tahun 2021 dan perbandingan pada ramadhan – lebaran 2021 ternyata jumlah uang beredar Rp.154,5 triliun. Jumlah ini naik 41,5% dibandingkan periode lebaran 2020. Kalkulasi ramadhan - lebaran 2022 jumlah uang beredar secara luas (M2) mencapai Rp.8.054 triliun (naik 15% dari lebaran 2021). Data BI likuiditas perekonomian (M2) pada Januari 2023 tumbuh 8,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy) menjadi Rp.8.271,7 triliun.

Baca Juga: Syariah dan Potensinya

Jadi ketika pandemi berlalu dan PPKM dihapus memacu daya tarik mudik kembali setelah di 2022 dan 2021 dilarang maka pastinya akan meningkatkan konsumsi yang kemudian ini berdampak terhadap percepatan peredaran uang dan jumlah uang yang beredar. Pastinya inflasi musiman ramadhan – lebaran 2023 akan meningkat dibanding 2 tahun lalu. Jadi, arahan Presiden Jokowi agar pejabat negara tidak menggelar buka bersama diharapkan mereduksi inflasi sehingga daya beli tetap terjaga dan konsumen tetap dapat menikmati berkah ramadhan sampai lebaran mendatang. ***

* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat