unescoworldheritagesites.com

HIKMAH RAMADHAN: Kafir sebagai Ancaman - News

Edy Purwo Saputro - Dosen Program Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)

Oleh: Edy Purwo Saputro

: “Yaa ay-yuhal-ladziina aamanuu intuthiiul-ladziina kafaruu yarud-duukum ‘alaa a’qabikum fatanqalibuu khaasiriin” ( QS. Ali ‘Imran : 149). Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman jika kamu mengikuti orang-orang kafir maka niscaya mereka menyeretmu kembali kekafiran, lalu kamu menjadi orang yang merugi”.

Kekafiran menjadi ancaman serius bagi umat manusia dan ini telah diancamkan sejak dulu. Oleh karena itu, ajaran Islam berusaha untuk memutarbalikan kekafiran menuju ketauhidan yang meng-Esa-kan Tuhan, bukannya justru menyekutukan Tuhan. Oleh karena itu, ancaman kekafiran harus direduksi meskipun di sisi lain ajaran Islam tetap bersifat terbuka dari kritik yang konstruktif terkait tafsir yang tersurat dan tersirat seperti dalam ajaran Al-Qur’an.

Terkait ini, jihad melawan kekafiran termasuk salah satu tantangan terberat yang harus dihadapi umat muslim dan ancaman kekafiran itu sendiri bisa tampak sangat sempurna sehingga harus ekstra hati-hati untuk mengantisipasinya. Fakta ini menjadi pembenar ketika kemudian Islam berkewajiban untuk menjaga ketauhidan semesta.

Baca Juga: HIKMAH RAMADHAN: Al-Qur’an dan Kehidupan

Islam adalah agama universal yang bersifat terbuka dan cenderung fleksibel di semua hal, termasuk juga kaitannya dengan kompleksitas tantangan pada era global. Meskipun demikian Islam menuntut konsistensi dalam menjalankan syariat. Artinya, memang tidak ada unsur paksaan bagi semua umat untuk memeluk Islam (QS. Al Baqoroh : 256). Meskipun demikian, Allah SWT justru memberikan kebebasan yaitu apakah manusia akan beriman atau justru kufur (QS. Al Kahfi : 29). Jadi, kekafiran pada dasarnya adalah ancaman serius sehingga jihad memeranginya juga menjadi prioritas utama.

Aktualisasi terhadap jihad tersebut pada dasarnya merupakan tantangan semua umat tidak saja umat Islam tapi juga lainnya dan sekaligus untuk memantau siapa yang benar-benar beriman kepada-Nya. Dalam kaitan ini, Allah SWT berfirman dalam QS. Al Maidah : 48 yang artinya “Untuk tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan terang. Sekiranya Allah SWT menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah SWT mau menguji kamu terhadap pemberian-Nya maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah SWT semua akan kembali dan disampaikan-Nya kepadamu tentang perselisihan yang terjadi”.

Baca Juga: HIKMAH RAMADHAN: Bekerja adalah Ibadah

Penjabaran diatas menunjukkan bahwa manusia dilarang menentang anugerah Allah SWT sebab hal ini berarti kafir. Secara konseptual kekafiran mencakup dalam semua hal yang bertentangan dengan syukur, misal mengingkari semua karunia dan nikmat yang diberikan Allah SWT (QS. An Nahl : 55 dan Ar Rum : 34) melarikan diri dari tanggungjawab atas perilaku (QS Ibrahim :22), membangkang hukum Allah SWT (QS. Al Maidah: 44), dan tidak berperilaku amal soleh, seperti diperintahkan Allah SWT (QS Ar Rum : 44). Jadi, definisinya memiliki cakupan dan ekspresi sangat luas.

Relevansi terhadap rasa syukur kepada Allah SWT memang dapat menjadi pemacu atas perilaku keimanan dan ketakwaan kita, sedangkan salah satu dari upaya untuk memacu kondisi ini adalah aktualisasi ibadah puasa secara konsisten. Dengan kata lain bahwa rasa syukur menjadi peran yang sangat penting yaitu tidak saja bagi pengingkatan keimanan, tetapi juga meminimalisasi kekafiran yang menjadi musuh terbesar dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, inilah tantangan kita dan semoga kita termasuk orang yang bersyukur karena syukur akan sangat dekat dengan ketakwaan seseorang. ***

  • Edy Purwo Saputro - Dosen Program Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat