unescoworldheritagesites.com

Selalu Berkaca ke Barat, PPDB dan Dunia Pendidikan Indonesia yang Terus Gamang - News

Syamsudin Walad (Dok Pribadi)

Oleh: Syamsudin Walad

: Sejak era reformasi sistem pendidikan Indonesia terus berubah-ubah. Pemangku kebijakan tak henti mengutak-atik sistem pendidikan di Indonesia, khususnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hingga 25 tahun reformasi, siswa terus dijadikan kelinci percobaan.

Sampai kapan siswa harus menjadi kelinci percobaan? Entah lah, yang pasti setiap ganti menteri, kebijakan tersebut hampir dipastikan berubah. Umumnya mengacu pada sistem pendidikan Barat.

Seperti yang terjadi saat ini dimana Mas Menteri Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, yang juga jebolan pendidikan Barat, Sekolah Bisnis Universitas Harvard (2009–2011), Universitas Brown (2002–2006), mencoba menerapkan sistem pendidikan yang berlaku di AS, Australia dan Eropa. Terkhusus yang berkaitan dengan sistem zonasi untuk penerimaan siswa baru atau biasa disebut PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).

Baca Juga: Jelang PPDB 2023, Aries Supriyatna: Apresiasi dan Ada Catatan

Pada dasarnya, sistem zonasi untuk penerimaan siswa baru bukanlah merupakan hal yang anyar. Beberapa negara maju telah menerapkan sistem tersebut sebagai bentuk kebijakan pendidikan negara mereka, sebagai contoh Amerika Serikat, Australia dan Eropa.

Contoh di AS, di wilayah bagian New York City. Mengutip dari situs ruangguru, disana pada umumnya, mereka mencari tempat tinggal yang dekat dengan sekolah ‘favorit.’ Pelabelan sekolah ‘favorit’ ini dipengaruhi oleh jumlah peminat yang mendaftar pada sekolah itu. Nah, jumlah peminat sebuah sekolah ditentukan dari penilaian atau rating dari sekolah yang bersangkutan.

Akibat adanya pandangan ‘sekolah favorit’ tersebut, harga jual dan sewa properti di lingkungan sekitar sekolah cenderung lebih tinggi. Atas alasan itu, tidak jarang beberapa orang tua mengakali peraturan yang berlaku dengan menitipkan anak kepada kerabat atau teman yang bertempat tinggal di lingkungan tersebut. Mirip dengan Indonesia bukan?

Sayangnya, berbeda dengan Indonesia, perbandingan antara siswa dengan infrastruktur sekolah disana seimbang atau merata sehingga meski ada label sekolah favorit namun kualitas sekolah terjaga dan beda-beda tipis. Selain itu, perlu ditekankan juga bahwa tiap sekolah memiliki fasilitas dan kualitas yang sama baiknya.

Baca Juga: Pentingnya Keberimbangan Dalam Penulisan Berita Lingkungan Hidup

Nah, kebanyakan pejabat-pejabat pemangku kebijakan di kementerian pendidikan, terutama sang menteri, tidak pernah berfikir soal ketersediaan sekolah. Mereka hanya berfikir ide yang ada di awang-awang dan tak mau melihat ke bumi.

Secara ide dan pemikiran mungkin saja bagus, sangat bagus bisa jadi. Tapi apakah mereka pernah berfikir soal ketersediaan sekolah? Apakah perbandingan antara jumlah kepadatan siswa di suatu wilayah dan ketersediaan sekolah sudah mereka pikirkan? Khususnya ketersediaan sekolah di luat Jakarta?

Melihat apa yang terjadi saat ini, dimana setiap tahun dunia pendidikan kita selalu kisruh terkait PPDB, sepertinya hal tersebut terlewat oleh Mas Menteri. Pria yang asalnya memang bukan pendidik dan lebih kental sebagai pengusaha ini sepertinya tak pernah berfikir ke situ. Mungkin saja ia yang terbiasa dengan lingkungan sekolah yang memadai, melihat dan merasakan sistem pendidikan Barat bagus-bagus saja. Mas Menteri lupa bahwa negara kita belum mampu menyediakan sekolah yang memadai, yang berbanding lurus dengan jumlah kepadatan penduduk. Hampir di semua wilayah Indonesia perbandingannya jomplang. Jadi apa yang diterapkan di Barat pas, belum tentu di Indonesia.

Sistem zonasi yang Mas Menteri Nadiem Makarim lihat di AS, tentulah tidak tepat diterapkan di Indonesia. Kekisruhan akan tejadi terus setiap tahunnya terkait PPDB. Hal ini lantaran infrastruktur sekolah yang minim. Tidak sebanding dengan jumlah penduduk (siswa).

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat