unescoworldheritagesites.com

Soliditas Kader Golkar Diuji Dalam Polemik Munaslub - News

Justino Djogo,.MA. MBA (AG Sofyan )

Oleh: Justino Djogo,.MA. MBA
 
: Ketika partai politik (parpol) lain sibuk mempromosikan diri dan para tokoh yang mau dipinang menjadi Bakal Calon Presiden (Bacapres) atau Bakal Calon Wakil Presiden (Bacawapres), Partai Golkar malah dirundung isu munaslub untuk menggantikan sang Ketua Umum Airlangga Hartarto. 
 
Seperti petir disiang bolong bagi kader Golkar. Tanpa basa basi isu ini berhembus berturutan dengan rekomendasi Dewan Pakar (Wankar) Partai Golkar menyikapi konstelasi pencapresan, disusul pemanggilan Kejaksaan Agung terhadap Ketum Golkar.
 
Ini diluar dugaan logis karena urusan ekspor Crude Palm Oil (CPO) mestinya di ranah Menteri Perdagangan. Namun, dengan gentlemen Airlangga Hartarto menjawab 46 pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa lancar dan tanpa jeda.
 
 
Golkar yang adalah inisiator terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) hingga detik ini seperti ditinggal dua partnernya calon koalisi bersama.
 
PAN bahkan mendorong Erick Thohir (ET) sebagai bacawapresnya Ganjar Pranowo (GP) dan Prabowo Subianto (PS). Satunya lagi PPP, malah sudah lebih awal menetapkan Sandiaga Uno yang didaulat di struktur partai sebagai Ketua Bappilu atau Badan Pemenangan Pemilu sebagai bacapres Ganjar, setelah sebelumnya adalah Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra.
 
Lalu bagaimana dengan Golkar?
 
Walaupun pernyataan para jubir Golkar seolah-olah optimis, pelan tapi pasti muncul riuh rendah kegalauan internal tentu mulai menyeruak. Sebenarnya Golkar masih ada harapan berkoalisi dengan PAN setelah ditinggal PPP. Sayangnya, harapan ini sirna, redup sebelum bersemi. 
 
 
Partai pemenang kedua pemilu 2019 ini tak semestinya mengalami situasi seperti ini. 
 
KIB mestinya segera diputuskan lanjut atau tidak secara  formal. Karena PPP sudah formal mendukung GP. Bahkan bacawapresnya juga bukan Ketum Golkar  Airlangga Hartarto (AH) tetapi Sandiaga Uno.
 
Lain lagi PAN yang tidak secara tegas mendukung  AH. Justru bermanuver "mencuri" hati  ke tokoh lain seperti GP, PS dan Erick Thohir .
 
Bahkan.PDI Perjuangan sudah mengerucutkan bacawapresnya dari 10.menjadi 5 orang. Sayangnya, dari 5 orang itu, ternyata AH tereliminasi.
 
 
Tidak mengherankan kalau salah satu rekomendasi Dewan Pakar Partai Golkar adalah membentuk Poros Baru. 
 
Mestinya rekomendasi ini cepat direalisasikan. Walaupun penulis secara pribadi pesimis melihat gelagat ketum parpol lain seolah tidak jelas arah dukungan berkoalisi dengan Golkar dan Ketum AH.  
 
Hingga detik ini tidak ada satupun yang formal mendukung Ketum AH sebagai bacapres atau bacawapres.
 
Dalam konteks ini, beberapa pernyataan Senior Golkar Ridwan Hisjam yang juga anggota Dewan Pakar Golkar ada benarnya. 
 
 
Kalau mau jujur, sudah lama tidak ada ekspos lagi tentang KIB. Kalau sudah begini, mustinya segera bergabung dengan koalisi atau poros yang sudah terang dan jelas dukungan formalnya, untuk Golkar.
 
Mudah-mudahan kita mendukung capres dan cawapres yang potensi menangnya paling besar. Bukan hanya dari perspektif elektabilitas saja. Minimal ketum AH sebagai bacawapresnya.
 
Penulis adalah salah satu kader yang menolak adanya Munaslub jika hanya untuk mengganti Ketum AH. Dan dari perspektif lain menurut penulis, desakan Munaslub itu tidak berarti harus mengganti Ketum AH.
 
Mungkin ada keputusan krusial lain seperti Ketum AH lebih berkonsentrasi menjalankan tugasnya sebagai Ketua Umum Partai Golkar ansich dan melepaskan jabatan sebagai Menteri Bidang Ekonomi dan Keuangan (Menko Ekuin) yang tentu banyak menyita  waktu dan energi Airlangga ketimbang full mengurus dan mengelola partai untuk menuju kemenangan Golkar di Pemilu 2024. 
 
 
Apalagi untuk meningkatkan elektabilitas Golkar dan para calegnya di setiap tingkatan, maka diperlukam kehadiran langsung Ketum AH di dapil-dapil seluruh Nusantara.
 
Karena, jika "memanfaatkan" kunjungan kerja (kunker) sebagai Menko Perekonomian, tentu banyak polemik yang justru muncul. Dan bisa jadi semakin viral isu ini "digoreng" dan dikonsumsi lawan-lawan politiknya untuk merugikan Golkar dan figur Airlangga sendiri.
 
Dengan keputusan Rakernas Golkar baru-baru ini bahwa Ketum menentukan sendiri soal capres dan teman koalisi, menurut penulis terlalu membebankan Ketum. Bagaimana nantinya jika pilihan Ketum ternyata kalah. Ini yang perlu kita pikirkan dengan realistis, konstruktif, dan tentu saja politis.
 
Identifikasi "cawe-cawe" dan Penumpang Gelap
 
Terminologi cawe-cawe santer dibicarakan terkait tendensi  dan cara penguasa agar melanggengkan kekuasaannya melalui tangan penguasa sesudahnya. Entah ada maksud menjaga keberlangsungan dan menjamin kelanjutan karir politik dan bisnis keluarga setelah tak lagi berkuasa, kita pun tak bisa secara pasti menyimpulkan demikian.
 
 
Hanya tanda dan perilaku penguasa saat ini yang dapat mengesankan publik menilai kondisi seperti itu.  Banyak bentuk keterlibatan penguasa dalam kontestasi pilpres, tersirat dan kasat mata kita saksikan.
 
Lalu, apakah dengan tanda-tanda tanda ini, kita dapat mengatakan bahwa sebutan penumpang gelap cocok dengan akitivitas cawe-cawe yang sudah menyusupi rumah Golkar.
 
Mari kita berpikir jernih. Bagaimana mungkin KIB yang begitu sexy-nya di awal deklarasi, lalu ditinggal begitu saja oleh PAN dan PPP. Kemudian  berpindah ke lain hati. 
 
Apakah ada unsur cawe cawe? Apakah Golkar tetap menunggu keajaiban. Penulis berpandangan tidak demikian. Karena Dewan Pakar tampaknya sudah merekomendasikan pembentukan poros baru.
 
 
Ini bukan saja untuk menaikkan elektabilitas Ketum AH namun terutama adalah elektabilitas Golkar.
 
Seperti klub sepakbola Barcelona FC kala itu, yang ditinggalkan mega bintangnya,  Lionel Messi ke Paris Saint Germain (PSG). Namun tetap saja sukses dan berhasil sebagai Juara La Liga Spanyol.
 
Atau mau seperti Tottenham Hotspur FC, Inggris yang terus mempertahankan Kaptennya Kesebelasan Harry Kane. Namun tak pernah bisa menjuaarai lagi Liga Inggris. 
 
Kadang kala romantisme itu mesti kritis juga.
Karena, akhirnya para kaderl Partai Golkar-lah yang menentukan hidup mati partai ini.
 
 
Sama seperti para pemain bola yang menghidupi klubnya. Bukan pelatih, apalagi pemilik klub bola sekaya-raya apa pun sang pemilik klub.
 
Selamat berjuang dan tetap solid mewaspadai aktivitas cawe-cawe para penumpang gelap, Bung! ***
 
Justino Djogo,.MA. MBA 
Pengurus Balitbang DPP Partai Golkar/ Bacaleg DPR RI Jateng V (Solo, Boyolali, Sukoharjo dan Klaten)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat