unescoworldheritagesites.com

Tak Ada Alat Bukti yang Berkualitas dan Berkausalitas, Status Tersangka FB Bisa Batal - News

Prof DR Suparji Ahmad SH MH (Ist)

 

 

: Permohonan praperadilan yang diajukan oleh Firli Bahuri (FB), Ketua KPK non aktif, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memasuki sidang ke 5, Jumat (15/12/2023).

Sidang ke 5 yang mengagendakan keterangan ahli, salah satu ahli Prof Dr Suparji Ahmad, SH MH menegaskan status FB harusnya batal lantaran tak ada bukti yang berkualitas dan berkausalitas.

Suparji Ahmad yang merupakan Guru Besar Universitas Al Azhar Indonesia menjelaskan bahwa termohon menggunakan 4 alat bukti dalam menetapkan tersangka FB, yaitu saksi, surat, ahli dan petunjuk. Namun demikian, dalam pandangan Suparji, bahwa alat bukti tersebut tidak cukup hanya memenuhi unsur kuantitatif, tetapi juga harus memenuhi unsur kualitatif dan kausalitas.

Baca Juga: Peran dan Kolaborasi Balai K3  Bersinergi Mendukung Penerapan K3 di Rumah Sakit Sangat Penting 

"Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor: 21/PUU-XII/2014, yang pada pokoknya menyatakan alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif," kata Suparji Ahmad.

Suparji menegaskan secara prosedural dalam menetapkan tersangka, sesuai Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Tipikor, harus ada saksi dan surat yang menunjukkan dan membuktikan adanya mens rea dan actus rea pemenuhan unsur-unsur pasal tersebut.

"Dalam hal tindak pidana pemerasan, secara prosedural penetapan tersangka harus didukung adanya saksi dan surat yang membuktikan adanya perbuatan memaksa seseorang, yaitu suatu perbuatan yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain," jelas Suparji Ahmad.

Baca Juga: Praperadilan Firli Bahuri; Pemohon dan Termohon Saling Klaim Bakal Memenangkannya

Dikatakan Suparji, selama seseorang yang dipaksa belum memenuhi apa yang dikehendaki oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut, Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan tidak dapat dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e UU Tipikor.

"Tindak pidana ini baru dianggap selesai dilakukan oleh pelaku jika orang yang dipaksa menyerahkan sesuatu itu telah kehilangan penguasaan atas sesuatu yang bersangkutan, maka dengan ditolaknya
pungutan yang dilakukan oleh pegawai negeri tersebut," tutur Suparji Ahmad.

Menurut Suparji, prosedur penetapan tersangka untuk tindak pidana suap, harus ada alat bukti yang membuktikan adanya meeting of minds antara pemberi dan penerima suap untuk menerima hadiah dan janji. Meeting of minds merupakan nama lain dari konsensus atau hal yang bersifat transaksional untuk menerima hadiah atau janji yang diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Sedangkan pada tindak pidana gratifikasi, secara prosedural juga harus ada alat bukti yang menunjukkan adanya penerimaan hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, yang diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat