unescoworldheritagesites.com

Penyidik Periksa Pejabat Kemenhub Untuk Perkuat Pembuktian Pidana Korupsi - News

: Pemeriksaan secara marathon dilakukan tim penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung dalam dugaan tidak pidana korupsi proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel (KS) dan penyimpangan anggaran terkait pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia (Persero).

Dua saksi diperiksa terkait dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia, salah satunya adalah Direktur Kelaikudaraan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). "Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan terhadap 2 orang saksi yang terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan pesawat udara pada PT Garuda Indonesia (persero) Tahun 2011-2021 atas nama tersangka AW, SA, dan AB," kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, Senin (18/4/2022).

Dua orang saksi yang diperiksa tersebut masing-masing SM selaku VP Internal Audit PT Garuda Indonesia Tbk dan DK selaku Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara pada Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub RI. "Pemeriksaan kedua saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadaan Pesawat Udara pada PT Garuda Indonesia Tbk. Tahun 2011-2021," ujarnya.

Kejagung telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini masing-masing Vice President Planning PT Garuda Indonesia Tahun 2017-2018, AB; Vice President Strategic Management Office PT Garuda Indonesia 2011-2012, SA; dan Executive Project Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia 2009-2014, AW. Mereka dijerat dengan Pasal berlapis yaitu 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU 31/1999, sebagaimana diubah UU 20/2021 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Dan subsider Pasal 2 jo Pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah Dengan UU 20/2021 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

                                                             Dugaan Korupsi Di PT KS

Terkait kasus dugaan tidak pidana korupsi proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel (KS) diperiksa tiga saksi masing-masing Direktur Utama PT Sentra Karya Mandiri berinisial AP, Konsultan Kajian Material Flow Pasca Blast Furnace tahun 2012 berinisial HRS dan RB selaku Head of Corporate Banking pada Bank CIMB Niaga Pusat.

 

Mereka diperiksa terkait dugaan tindak pidana Korupsi pada proyek pembangunan Pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel sekaligus untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011. Dalam kasus ini, penyidik telah menaikan statusnya menjadi penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan dari Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-14/F.2/Fd.2/03/2022 tanggal 16 Maret 2022.

 

PT Krakatau Steel membangun Pabrik Blast Furnace (BFC) bahan bakar batubara untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah, karena dengan menggunakan bahan bakar Gas biaya produksi lebih mahal pada Maret 2011. Kemudian dilakukan lelang pengadaan pembangunan Pabrik BFC yang dimenangkan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering.

 

Sumber pendanaan pembangunan Pabrik BFC awalnya dibiayai Bank Eksport Credit Agency (ECA) dari China. Namun dalam pelaksanaannya, ECA tidak menyetujui pembiayaan proyek dimaksud karena Ebitda atau kinerja keuangan perusahaan PT Krakatau Steel tidak memenuhi syarat. Pihak PT Krakatau Steel kemudian mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI, Mandiri, BNI, OCBC, ICBC, CIMB, dan LPEI.

 

Nilai kontrak  Rp6.921.409.421.190 dan pembayaran yang telah dilaksanakan adalah sebesar Rp5.351.089.465.278 dengan rincian, porsi luar negeri Rp3.534.011.770.896 dan porsi lokal Rp1.817.072.694.382. Pekerjaan dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019 karena belum 100 persen. Setelah dilakukan uji coba bahwa operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar. Akhirnya tidak bisa diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi alias mangkrak. “Terindikasi adanya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo. Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor,” kata Ketut Sumedana.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat