unescoworldheritagesites.com

Kuasa Hukum Lianawati Surati MARI, Ini Alasannya - News

Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Utara




:  Tertangkapnya Hakim Agung Sudrajad Dimyati oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait dugaan suap pengurusan perkara di MA, seolah membuka tabir bahwa jajaran aparat kehakiman dibawah MA perlu diperhatikan dalam membuat keputusan agar selalu adil.

Dikhawatirkan bahwa ketidakadilan dalam putusan menimpa Lianawati Nurmawan selaku Penggugat yang tengah berupaya mendapatkan haknya atas sebuah tanah dan rumah di bilangan Sunter, Jakarta Utara.

Gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan perkara bernomor 606/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Utr, telah diputus oleh Majelis Hakim yang terdiri dari R. Rudi Kindarto (Ketua), Erly Soelistyarini (Anggota) dan Togi Perdede (Anggota). Sayangnya, putusan hakim dinilai absurd, karena tidak sesuai dengan prinsip keadilan.

Baca Juga: Divonis Bebas, Lima Terdakwa Kasus Penggelembungan Suara Sujud Syukur Di PN Jakarta Utara

Buntutnya, Lianawati melalui kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Rullysimo & Partners melaporkan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI).

Ketiga hakim tersebut dinilai telah bertindak semena-mena, tidak adil (onrechtvaardig) dalam memutus perkara wanprestasi tersebut.

"Kami sudah melaporkan Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara gugatan perdata wanprestasi ke Mahkamah Agung RI.

Diantarnya terkait dasar hukum yang sudah tidak berlaku/telah dicabut dan proses peradilan yang tidak taat azas
hukum acara perdata. Putusan yang semena-mena tersebut jelas merugikan klien kami," kata Rully Simorangkir, dalam keterangan persnya usai mendaftarkan memori banding di PN Jakarta Utara, Kamis (29/9/2022).


Baca Juga: Sindikat Diduga Mafia Tanah Mulai Didudukan di Kursi Pesakitan PN Jakarta Utara
Sebelumnya, hakim menilai sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, maka surat kuasa yang diberikan oleh Hanafi Nurmawan (Tergugat) di Singapura kepada Lianawati Nurmawan (Penggugat) untuk menjual sebidang tanah berikut rumah miliknya, dianggap tidak sah.

Akibatnya, proses jual beli yang terjadi, sebagai produk turunan dari surat kuasa tersebut juga dianggap tidak sah.

Padahal, surat kuasa tersebut bukanlah surat kuasa mutlak. Lagipula penandatanganan surat kuasa tertanggal 5 Mei 2011 tersebut telah dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku, bahkan dilakukan dihadapan pejabat Kedutaan Besar RI (KBRI) di Singapura.

Baca Juga: Gara-gara Siomay, Mulyana Duduk di Kursi Pesakitan PN Jakarta Utara

Ditambah lagi dengan adanya pengesahan dari KBRI Singapura melalui Surat Nomor 421/PROTKONS/XII/2020 tanggal 11 Desember 2020 yang diterbitkan oleh KBRI Singapura dan ditandatangani oleh Minister Counsellor Irwan Buchari.

"Permasalahan yang paling penting adalah Inmendagri 14/1982 tersebut sudah tidak berlaku lagi. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Pertanahan, dalam lampiran tertera Inmendagri 14/1982 termasuk dalam daftar regulasi yang dicabut. Tapi sekalipun sudah tidak berlaku dipaksakan untuk memberi pertimbangan bahwa seolah-olah surat kuasa tersebut bersifat mutlak," ungkap Rully.

Dia mengaku aneh bila Majelis Hakim PN Jakut tetap menggunakan aturan tersebut.

Baca Juga: Bos Pinjol Ilegal Tidak Ikut Didudukan Di Kursi Pesakitan PN Jakarta Utara

"Aturan tersebut dicabut pada tahun 2014. Artinya, sudah 8 tahun dicabut, tapi sekarang masih digunakan. Sangat tidak masuk akal jika Majelis Hakim yang memeriksa suatu perkara tidak mengetahui bahwa peraturan perundang-undangan yang dipakainya sebagai dasar putusan, sudah tidak berlaku lagi," kata Rully.

Hal lainnya yang menjadi keberatan Lianawati adalah majelis hakim dalam putusannya mengabaikan ketentuan tata cara hukum acara perdata karena surat kuasa yang digunakan oleh pihak Tergugat adalah surat kuasa umum. "Padahal jelas-jelas dalam berperkara di pengadilan harus menggunakan surat kuasa khusus sebagaimana ditentukan dalam Pasal 123 ayat (1) HIR," ungkap Rully keheranan.

Tidak cukup dengan kedua alasan tersebut, Majelis Hakim bahkan dalam membuat pertimbangannya bertindak ultra petita. Rully mengungkapkan:

“Bahwa dirinya selaku kuasa dari Penggugat tidak pernah meminta agar surat kuasa dan Akta Jual Beli milik kliennya dinyatakan sah dan berharga. Demikian pula pihak Tergugat tidak pernah meminta agar surat kuasa dan Akta Jual Beli tersebut dinyatakan tidak sah. Namu demikian kemudian Majelis Hakim memberikan pertimbangan yang kemudian disimpulkan sendiri bahwa surat kuasa tersebut tidak sah. Karenanya seluruh produk hukum turunan dari surat kuasa tersebut tidak sah. Bagaimana Majelis Hakim dapat bertindak seperti ini. Bukankah hal seperti ini adalah pengetahuan dasar ketika seseorang belajar hukum di semester pertama?”

Pengabaian terhadap prinsip-prinsip tata cara hukum acara perdata tersebut adalah pengabaian yang tidak dapat diterima.

 

Baca Juga: Ketua PN Jakarta Utara Berharap Panitera Jujur

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat