unescoworldheritagesites.com

Iklim Kondusif - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi,  Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)



Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi 

: Pesta demokrasi telah berjalan dan pengumuman hasilnya telah  disampaikan KPU pada 20 Maret kemarin sesuai jadwal. Di satu sisi, ancaman sengketa hasil pilpres dilakukan oleh paslon 01 dan 03 melalui peradilan di MK dan di sisi lain semua berharap MK bisa mengadili dengan bijak tanpa ada tendensi apapun.
 
Pastinya tidak mudah bagi MK dari peradilan ini termasuk urgensinya untuk mengembalikan marwah dan kepercayaan MK setelah tercabik akibat campur tangan Anwar Usman dalam
putusan MK yang akhirnya memuluskan langkah Gibran menjadi cawapres dari paslon 02. Bahkan, akibat putusan itu akhirnya muncul cibiran dengan sebutan ‘Anak Haram Konstitusi’. Meski oleh KPU telah ditetapkan tetapi peradilan sengketa hasil pilpres terus berlanjut di MK, sementara di Hak Angket belum ada kejelasan alurnya.
 
Baca Juga: Urgensi E-voting

Apa yang terjadi melalui peradilan di MK menjadi pembenar untuk membuktikan fakta kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Oleh karena itu paslon 01 dan 03 berharap putusan peradilan di MK mendiskualifikasi paslon 02 untuk melakukan pemilu ulang dengan kompetisi antara paslon 01 dan 03 tanpa 02.
 
Fakta ini menjadi tantangan agar MK bisa memutuskan peradilan secara bijak sebab imbasnya jika tidak bijak maka akan ada ancaman peradilan jalanan. Padahal, persepsian umum dari peradilan jalanan identik dengan people power dan tendensinya akan terjadi destruktif di berbagai aspek, tidak hanya sosial tapi juga ekonomi – politik.
 
Baca Juga: Problem Perberasan

Penyebutan peradilan jalanan mungkin terkesan brutal tetapi mungkin diyakini ini bisa  menjadi yang terbaik jika peradilan melalui jalur formal dan parlemen tidak menjadikan hasil yang terbaik atau mungkin sekedar formalitas semata. Oleh karena itu, situasi saat ini  cenderung semakin memanas sampai menjelang putusan MK ketika mengumumkan hasil
sengketa pemilu.
 
Di satu sisi, penggelembungan suara lewat Sirekap juga sangat jelas menguntungkan paslon tertentu sementara fakta legalitas Sirekap itu sendiri juga dipermasalahkan sejumlah pakar IT. Di sisi lain, situasi ramadhan bisa sedikit meredam kemarahan dan kecemasan publik meskipun tidak menyurutkan semangat menyuarakan keadilan dan peradilan atas nama demokrasi dan pemilu yang terkesan brutal, culas dan dikonotasikan terjadi TSM.
 
Baca Juga: Optimalisasi Kaum Muda

Kilas balik pesta demokrasi 2024 memang bermasalah sejak ada putusan dari MK yang menguntungkan paslon tertentu dan sepertinya terus berlanjut sehingga ini mengancam terhadap legalitas hasil pemilu. Artinya, legitimasi pesta demokrasi untuk melahirkan suksesi
kepemimpinan tidak berjalan mulus.
 
Ironisnya, diperparah oleh dinasti politik dan semakin runyam karena kasat mata mulai dari Gibran, Kaesang, Boby Nasution dan yang terbaru wacana Erina Gudono yang dikabarkan akan maju di pilkada Sleman. Hal ini jelas mencederai semangat reformasi yang bergelora sejak 1998 ketika rezim orba tumbang setelah berkuasa 32 tahun. Ironisnya, Jokowi yang hanya berkuasa 10 tahun juga akan melakukan hal yang sama dan beralasan jika ini memacu kemarahan publik.
 
Baca Juga: Iklim Solpol Pasca Pilpres

Kecemasan, kegelisahan dan kemarahan publik terkait pesta demokrasi dan juga agenda peradilan pada MK maka iklim sospol cenderung memanas dan pasti hal ini berdampak negatif terhadap sentimen publik. Padahal, ada aspek keyakinan pengaruh yaitu antara ekonomi - politik dan politik - ekonomi sehingga keduanya saling bersinergi. Fakta ini
menjadi catatan menarik menuju hasil dari peradilan di MK dan karenanya semua harap mewaspadai riak konflik yang terjadi, termasuk kecemasan dan kemarahan kalangan akademisi.
 
Bahkan, seruan peradilan jalanan dari akademisi di sejumlah daerah harus diwaspadai karena bisa menjadi ancaman terhadap sentimen dan jika ini berlanjut bisa berdampak sistemik terhadap kondisi makro ekonomi nasional. Oleh karena itu, gerakan moral 303 Guru Besar, Akademisi dan kalangan masyarakat sipil yang menyuarakan amicus curiae (sahabat pengadilan) sangat diharapkan agar MK bisa memutuskan secara bijak untuk  mengembalikan spirit demokrasi. ***
* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta
 
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat