unescoworldheritagesites.com

HIKMAH RAMADHAN: Kewajiban Berpuasa - News

•	Edy Purwo Saputro - Dosen Program Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)

Oleh: Edy Purwo Saputro - Dosen Program Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta

: “Ya ayyuhal lazina amanu kutiba ‘alaikumssiyamu kama kutiba ‘alallazina ming qablikum la’allakum tataqun” (QS: Al-Baqarah 183). Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

Ramadhan kembali tiba dan diawali dengan kenaikan sejumlah harga sembako karena ancaman ini berdampak terhadap inflasi musiman yang biasanya berlanjut dari awal ramadhan sampai lebaran. Meski demikian, hikmah ramadhan tetap memberikan kepastian menikmati ibadahnya meski secara prinsip ada beberapa yang mengawali ramadhan tidak bersamaan. Hal ini harus dipahami sebagai rahmat bukan ancaman yang harus diperdebatkan. Terlepas dari perbedaan, yang pasti, ramadhan tetap memberikan spirit bagi umat muslim pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kerinduan terhadap datangnya ramadhan selalu muncul.

Baca Juga: Kemewahan Vs Keresahan

Tanpa terasa, kita semua umat Islam kembali berjumpa dengan ramadhan 1444 H yang diharapkan dapat memberikan pencerahan terhadap hidup dan kehidupan, tidak hanya di lingkup rumah tangga tetapi juga nasional. Oleh karena itu, ramadhan tidak hanya menjadi nilai penting bagi kehidupan individu umat muslim, tetapi juga bagi kemaslahatan. Tentunya ini tidak bisa lepas dari dua aspek penting dari ramadhan itu sendiri, yaitu

Pertama: keterlibatan individu sebagai hamba Allah SWT yang harus patuh senantiasa menjalankan perintah-Nya, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, menjalankan puasa ramadhan tidak ada pilihan lain kecuali wajib hukumnya kepada yang “mampu” menjalankan sesuai dengan rukun dan syaratnya.

Artinya, ini rutinitas ujian dalam kehidupan untuk mencapai tahapan kehidupan yang lebih baik di akhirat seperti dijelaskan dalam QS: Al-An’am 29 yaitu: “Wa qalu in hiya illa hayatunad dun-ya wa ma nahnu bi mab’usun” yang artinya: “Dan tentu mereka (orang-orang kafir) akan mengatakan bahwa hidup hanyalah di dunia ini dan kita tidak akan dibangkitkan”. Ini adalah pemahaman yang salah karena menganggap tidak ada lagi perhitungan atas semua amalan kita di dunia sehingga kita diciptakan hanyalah untuk bisa hidup tanpa ada pembalasan atas semua jerih payah sebagai hamba dari Sang Pencipta yaitu Allah SWT. Pemahaman ini akhirnya tidak berupaya mencari bekal untuk mati, termasuk mengabaikan perintah ibadah puasa ramadhan.

Baca Juga: Urgensi Pendataan

Kedua: keterlibatan sosial. Tidak bisa lagi dipungkiri bahwa ramadhan adalah ibadah yang sangat universal karena semua aspek terlibat, baik itu secara langsung atau tidak langsung. Fenomena ini terasa kian khidmat di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu keterlibatan sosial dari puasa ramadhan tidak bisa lepas dari keterlibatan individu. Padahal, sinergi antara dua keterlibatan itu tentu akan memberikan pengaruh terhadap kepribadian dan kejiwaan karena selama 30 hari menjalankan puasa ramadhan dan tentunya ini akan memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan. Keyakinan tersebut tidak hanya mengacu kepada seremonial perayaan Idul Fitri sebagai sisi kemenangan setelah 30 hari berpuasa, tapi juga interaksi sosial dalam bentuk pembayaran zakat fitrah dan zakat mal. Harapannya sukses ibadah ramadhan mampu membersihkan jiwa raga, termasuk mereduksi perilaku bermewahan - hedonis yang sebulan kemarin viral sehingga berdampak sistemik terhadap kecemburuan sosial. ***

  • Edy Purwo Saputro - Dosen Program Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat