unescoworldheritagesites.com

HIKMAH RAMADHAN: Keadilan & Keimanan - News

• Edy Purwo Saputro - Dosen Program Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)

Oleh: Edy Purwo Saputro

: “Man ‘amila shaalihan falinafsihi waman asaa-a fa’alaihaa wamaa rabbuka bi zhallaamil lil ‘abiid” (QS. Fush-Shilat : 46). Artinya: “Barangsiapa yang berbuat baik maka pahalanya untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang berbuat jahat maka dosanya atas tanggungannya sendiri. Sama sekali Allah SWT tidak berlaku zalim terhadap hamba-Nya”

Manusia esensinya adalah makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan semua makhluk. Padahal, konsekuensi terhadap tuntutan untuk berinteraksi tersebut adalah bagaimana memberikan keadilan bagi semua. Artinya, ada dualisme disini yaitu disatu sisi ada kewajiban selalu melakukan interaksi, dan di sisi lain harus ada tuntutan untuk berlaku adil. Padahal, ada keyakinan menegaskan bahwa kita adalah makhluk yang lemah sehingga ketika harus berhadapan dengan akses keadilan maka hal ini justru akan membahayakan. Padahal, adil dan keadilan itu akan merefleksikan keimanan dan hal ini pada akhirnya akan menunjukan keteguhan iman seseorang.

Baca Juga: HIKMAH RAMADHAN: Bekerja adalah Ibadah

Adanya kekhawatiran terhadap posisi yang lemah dari manusia dalam upaya penegakan keadilan maka sangatlah beralasan kalau kemudian dalam ajaran Islam menganjurkan keseimbangan. Terkait dengan konseptual keadilan, tentunya sangat menarik untuk bisa dijabarkan tentang sebuah hikmah yang pernah dikutip Ibnu Taimiyyah: “Sesungguhnya Allah SWT menegakkan kekuasaan yang adil, sekalipun itu kafir dan tidak menegakkan kekuasaan yang dzalim, meskipun muslim”.

Meski demikian, diakui bahwa menciptakan keadilan tidak mudah. Pemahaman adil bisa dikaitkan dengan aspek kualitas tetapi banyak juga yang kemudian dijabarkan secara kuantitas. Oleh karena itu, adil yang mensinergikan antara kuantitas dan kualitas seharusnya menjadi lebih baik. Adil dan keadilan dalam hukum saja sudah sangat sulit diwujudkan sehingga muncul persepsian tajam ke bawah dan tumpul ke atas, belum lagi dalam bentuk adil dan keadilan yang lainnya.

Baca Juga: HIKMAH RAMADHAN: Keteguhan & Keimanan

Pemahaman diatas menunjukkan bahwa keadilan merupakan suatu bukti tentang kondisi yang mengharuskan terjadinya akselerasi terhadap semua kepentingan. Dengan kata lain, Allah SWT berjanji untuk menegakkan keadilan (meskipun ini harus terjadi dalam lingkup yang kafir). Oleh karena itu, sangatlah beralasan kalau kajian tentang penegakan kondisi keadilan pada dasarnya tidak bisa terlepas dari aqidah dan keimanan. Fakta ini sekaligus dapat menjadi acuan bagi kita semua tentang bagaimana arti pentingnya kondisi keadilan yang merupakan hak hidup dan hak asasi bagi semua makhluk.

Adanya interaksi yang kuat antara keadilan, aqidah, keimanan serta aktualisasi dalam perwujudan sifat-sifat Allah SWT, maka wajar jika Islam menegaskan bahwa keadilan adalah proses yang tidak memandang siapapun. Artinya, mereka yang berhak mendapatkan keadilan maka merekalah yang memang seharusnya memperoleh keadilan tersebut dan siapapun tidak berhak merebut keadilannya. Fakta ini lebih didasarkan pada sisi peran strategis ibadah yaitu bahwa keadilan adalah yang paling dekat dengan keimanan dan takwa, sedangkan puasa hanyalah salah satu sarana untuk bisa memacu keadilan tersebut.

Baca Juga: HIKMAH RAMADHAN: Halal dan Haram

Fakta ini bisa terlihat pada kasus pembagian bansos yang pada akhirnya justru memicu perasaan iri karena mereka yang seharusnya berhak menerima justru tidak mendapatkan, sedangkan yang seharusnya tidak berhak justru mendapatkan bansos. Oleh karena itu, mewujudkan adil dan keadilan sangat membutuhkan kekuatan iman dan keimanan yang kemudian merealisasikan. ***

  • Edy Purwo Saputro - Dosen Program Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat