unescoworldheritagesites.com

Jadi Penggerak Ekonomi, Kemenperin Pastikan Kontribusi Manufaktur Masih Tertinggi - News

Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mendampingi Presiden Joko Widodo di acara Gelar Batik Nusantara (2023) memastikan industri manufaktur masih tertinggi, menjadi pendorong utama dan penggerak perekonomian nasional (AG Sofyan )

 
: Kementerian Industri Republik Indonesia (Kemenperin) memastikan industri manufaktur masih tertinggi, menjadi pendorong utama dan penggerak perekonomian nasional.
 
Hal ini tercermin dari konsistensi industri pengolahan nonmigas yang memberikan kontribusi paling besar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dengan capaian 16,30 persen pada triwulan II tahun 2023.
 
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita (AGK) menyatakan 
kontribusi sektor manufaktur masih yang tertinggi dibandingkan sektor-sektor lainnya.
 
 
"Artinya, industri kita masih bergeliat di tengah melambatnya ekonomi global. Kinerja positif ini juga sejalan dengan capaian PMI Manufaktur Indonesia dan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang masih berada di level ekspansi,” ujar Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Selasa (8/8/2023).
 
Menperin AGK memaparkan, industri pengolahan nonmigas tumbuh sebesar 4,56 persen pada triwulan II tahun 2023, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di tahun lalu sekitar 4,33 persen. 
 
“Di kuartal kedua ini, pertumbuhan ekonomi kita sebesar 5,17 persen, dengan sektor manufaktur yang secara konsisten menjadi kontributor terbesar pertumbuhan, didukung oleh permintaan yang juga terus menguat,” tuturnya.
 
 
Menperin AGK mengungkapkan pertumbuhan terbesar dari performa sektor manufaktur nasional pada triwulan II-2023, yakni industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik yang tumbuh sebesar 17,32 persen. 
 
Disusul industri logam dasar (11,49 persen), industri alat angkutan (9,66 persen), industri makanan dan minuman (4,62 persen), serta industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman (4,50 persen).
 
“Capaian tersebut menunjukkan tingkat optimisme dari pelaku industri kita masih cukup tinggi, terutama dalam menghadapi tantangan global saat ini. Ini yang juga menjadi peluang dalam pengembangan sektor manufaktur di masa mendatang,” jelas AGK.
 
 
Hal ini sejalan dengan hasil survei Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Juli 2023. Secara umum, tegas dia, kepercayaan industri masih sangat baik karena beberapa subsektor yang besar seperti industri makanan, industri kendaraan bermotor, industri minuman, dan industri peralatan listrik mengalami kenaikan ekspansi. 
 
Seluruh indeks variabel pembentuk IKI mengalami ekspansi pada Juli 2023, baik variabel Pesanan Baru, Produksi, maupun Persediaan Produk.
 
Dari paparan Memperin AGK tersebut menegaskan bahwa Indonesia tidak sedang  mengalami deindustrialisasi seperti kekhawatiran beberapa pihak.
 
Peneliti Senior LPEM FEB UI yang juga  Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Kiki Verico juga mengamini kinerja manufaktur nasional selama ini. 
 
 
"Jadi tidak tepat apabila Indonesia disebut sedang mengalami deindustrialisasi. Sebab, inflasi Indonesia rendah, nilai tukar rupiah masih stabil, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5 persen, lebih tinggi daripada inflasinya. Jadi, ekonomi kita masih resilience,” jelas Kiki Verico saat menjadi pembicara dalam diskusi yang dihelat Forum Wartawan Industri (Forwin) secara daring di Jakarta,  Senin (7/8/2023).
 
Diskusi bersama media mengambil tema: Industrialisasi Sebagai Penggerak Perekonomian Nasional juga menghadirkan Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof Rina Indiastuti dan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman dengan dimoderatori wartawan LKBN Antara Sella Panduarsa Gareta.
 
Ia menyebut industri manufaktur juga merupakan sektor terbesar ketiga dalam penyerapan tenaga kerja. 
 
 
Peneliti Senior LPEM FEB UI dan Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Kiki Verico mengatakan sektor manufaktur merupakan game changer. Indonesia disebut emerging karena pertumbuhannya di atas pertumbuhan ekonomi dunia dan menjadi the puller of economic growth
Peneliti Senior LPEM FEB UI dan Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Kiki Verico mengatakan sektor manufaktur merupakan game changer. Indonesia disebut emerging karena pertumbuhannya di atas pertumbuhan ekonomi dunia dan menjadi the puller of economic growth (AG Sofyan )
 
“Sektor manufaktur merupakan game changer. Indonesia disebut emerging karena pertumbuhannya di atas pertumbuhan ekonomi dunia dan menjadi the puller of global economic growth. Sehingga, dunia melihat Indonesia sebagai sumber pertumbuhan,” paparnya.
 
Percepatan pertumbuhan perlu dikejar sebelum terjadi penurunan deviden demografi yang diperkirakan terjadi pada tahun 2037. 
 
“Dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen, Indonesia perlu menguatkan struktur melalui manufaktur sehingga kontribusinya dapat kembali pada kisaran 28-30 persen. Pertumbuhan sektor manufaktur diharapkan mencapai 9-10 persen,” tutur Kiki.
 
 
Langkah yang perlu diambil untuk meningkatkan kontribusi sektor manufaktur adalah dengan melakukan transformasi struktural, antara lain melalui peningkatkan kualitas SDM manufaktur dan pengembangan ekonomi inklusif manufaktur penerapan teknologi digital. 
 
Selain itu, dengan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi manufaktur dunia, termasuk pada produk-produk green industry.
 
Kiki menambahkan, Indonesia juga memiliki potensi untuk mengembangkan aftersales service (jasa purnajual) untuk produk-produk industri. Kegiatan R&D dan inovasi sangat diharapkan berkembang di Indonesia.
 
 
Kontribusi PDB Sektor Mamin Tinggi 
 
Sementara Ketua Umum Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), Adhi S Lukman menjelaskan, kinerja industri makanan dan minuman (mamin) di Indonesia tahun ini sudah membaik jika dibandingkan dengan tahun 2022. Hal ini jelas terlihat dari peringkat realisasi investasi pada Januari-Juni 2023. 
 
Di periode ini, industri makanan-minuman berada pada peringkat ke-4 dengan nilai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencapai Rp26,72 triliun dengan total 5.416 proyek.
 
“Sedangkan dari sisi Penanaman Modal Asing (PMA) industri mamin telah mencatatkan investasi sebesar USD1,117 miliar dengan 2.226 proyek,” ungkapnya.
 
Apabila dilihat dari kontribusi terhadap PDB industri pengolahan nonmigas, pada triwulan I tahun 2023 industri makanan dan minuman merupakan yang paling tinggi di antara industri yang lainnya, yaitu sebesar 38,61 persen. 
 
 
Pertumbuhan industri mamin, lanjut Adhi, tidak terlepas peran dari dukungan Kemenperin yang terus menerapkan peta jalan Making Indonesia 4.0 melalui penerapan lighthouse. 
 
“Status lighthouse ini adalah perusahaan-perusahaan yang ditunjuk oleh Kemenperin sehingga mempunyai tanggung jawab untuk aktif membagikan pengalamannya kepada industri di sektor masing-masing. Sehingga dapat sama-sama memperoleh keuntungan lewat transformasi digital,” paparnya.
 
Di sektor mamin, Kemenperin sudah menetapkan tiga perusahaan sebagai lighthouse, yaitu Amerta Indah Otsuka (Sukabumi dan Kejayan), Kalbe Nutritionals (Sanghiang Perkasa dan Kalbe Morinaga Indonesia) serta Lautan Natural Krimerindo.
 
 
Tepis Deindustrialisasi 
 
Sedangkan Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Rina Indiastuti menepis pandangan beberapa kalangan yang menyebut bahwa Indonesia saat ini menghadapi trend deindustrialisasi atau menurunnya kontribusi industri manufaktur atau pengolahanan terhadap perekonomian. 
 
Prof Rina Indiastuti memaparkan indikasi terjadinya deindustrialisasi dengan mencermati tiga pendekatan.
 
Pertama, apakah memang terjadi penurunan pertumbuhan pendapatan per-kapita yang merupakan symptom perburukan kinerja ekonomi makro. Kedua, apa kontribusi manufaktur terhadap perekonomian turun dan ketiga apakah terjadi perubahan struktur ekonomi dan sosial yang besar.
 
 
"Jika melihat bahwa saat ini perekonomian Indonesia terus tumbuh dan tidak terjadi perubahan struktur ekonomi dan sosial yang besar, berarti deindustrialisasi tidak terjadi. Jika pun saat ini dikatakan bahwa terjadi penurunan kontribusi manufaktur, hal itu bersifat sementara karena pada 2025 dan 2045 kontribusi manufaktur terhadap perekonomian telah mencapai 18,7 % dan 28%," urainya.
 
Diskusi media oleh Forwin bertema: Industrialisasi Sebagai Penggerak Perekonomian Nasional dengan narasumber Peneliti Senior LPEM FEB UI dan Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Kiki Verico, Rektor Unpad, Prof Rina Indiastuti dan Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman
Diskusi media oleh Forwin bertema: Industrialisasi Sebagai Penggerak Perekonomian Nasional dengan narasumber Peneliti Senior LPEM FEB UI dan Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Kiki Verico, Rektor Unpad, Prof Rina Indiastuti dan Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman (AG Sofyan )
"Jadi tidak tepat bila dikatakan Indonesia mengalami deindustrialisasi. Apalagi prospek pertumbuhan ke depan masih sangat besar," tegas Doktor Ekonomi Industri dari Osaka Prefecture University Jepang ini.
 
Prof Rina menilai momentum pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 menjadi waktu yang tepat untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur.
 
 
Momentum pemulihan pasca Covid-19 sekarang ini merupakan cara atau ajang untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur lebih tinggi dari nasional," tandasnya.
 
Kondisi itu menjelaskan sejumlah strategi yang bisa digunakan untuk mendongkrak pertumbuhan industri manufaktur di antaranya mulai dengan mengeksplorasi cabang-cabang industri manufaktur.   
 
Selama ini Indonesia masih fokus pada industri di subsektor-subsektor lama yang hanya fokus pada sumber daya alam (SDA)
 
Rina mengingatkan Indonesia sejatinya harus bisa mulai mengeksplorasi sektor-sektor industri yang bisa mendorong industri manufaktur lainnya sehingga saling terkait.
 
 
"Kita masih bermain lama di industri karet, kertas. Kita juga kuat di elektronik, transportasi (otomotif), itu basisnya teknologi dan ekspor. Tetapi kita masih mengandalkan industri yang dari dulu berperan. Padahal cabang industri manufaktur begitu banyak. Barangkali mari kita mulai menyiapkan cabang-cabang lain," jelasnya.
 
Prof Rina mengatakan industri yang telah tumbuh baik perlu didorong untuk bisa meningkatkan ekspor dan melakukan penetrasi yang lebih intens ke pasar domestik.  
 
Selain itu, ia juga menyinggung perlunya adopsi teknologi sesuai karakteristik industri. Rina mendorong pemangku kepentingan terkait, mulai dari pemerintah hingga perguruan tinggi, untuk mulai memikirkan soal memilih dan mengadopsi teknologi yang tidak hanya memberi nilai tambah tinggi tapi juga sesuai dengan kebutuhan dan tren industri saat ini, termasuk tren industri hijau.
 
 
Prof Rina mendorong pemangku kepentingan terkait, mulai dari pemerintah hingga perguruan tinggi, untuk mulai memikirkan soal memilih dan mengadopsi teknologi yang tidak hanya memberi nilai tambah tinggi tapi juga sesuai dengan kebutuhan dan tren industri saat ini, termasuk tren industri hijau.
 
"Penelitian di kampus kami menyatakan kalau ekspor industri manufaktur ingin tidak decline (menurun), ternyata yang penting bukan hanya masalah global value chain semata. Tetapi juga diperhatikan faktor kelembagaan. Jadi bagaimana sinergi antarsektor membuahkan biaya yang rendah bagi industri," pungkas Prof Rina. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat