unescoworldheritagesites.com

Dinilai Keliru Pahami Inmendagri No 14 Tahun 1982, Putusan Hakim Rugikan Warga Jakut - News

Kantor PN Jakarta Utara

 

 

 : Putusan Majelis Hakim  Pengadilan Negeri Jakarta Utara   (Jakut) terhadap perkara No. 606/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Ut, dinilai absurd dan telah merugikan pihak Penggugat.

 Hal ini lantaran hakim dinilai telah keliru memahami Instruksi Menteri Dalam Negeri  (Inmendagri) Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.

Karena gagal paham, bukti-bukti otentik yang diajukan ke persidangan dikesampingkan.

Baca Juga: Penasihat Hukum Minta Majelis Hakim PN Jakarta Utara Bebaskan Herman Yusuf


Putusan hakim tidak sesuai dengan dictum gugatan yang dilayangkan oleh Lianawati Nurmawan (Penggugat).

"Hakim mempersoalkan hal lain yang justru tidak menjadi substansi gugatan," ujar Dr. Rully Simorangkir, Kuasa Hukum Lianawati dari Kantor Hukum Rully Simo & Partners, dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (11/9/2022).

Rully menerangkan, dalam gugatan jelas disebutkan bahwa yang dimintakan adalah pengosongan sebuah rumah di bilangan Sunter yang telah dibeli Lianawati dari Hanapi Nurmawan.

Baca Juga: Bos Pinjol Ilegal Tidak Ikut Didudukan Di Kursi Pesakitan PN Jakarta Utara


Tetapi hakim dalam amar putusannya justru menyebutkan bahwa surat kuasa yang diberikan Hanapi kepada Lianawati untuk menjual, mengalihkan, dan atau menghibahkan sebidang tanah berikut bangunan seluas 2.000 meter persegi (M2) yang terletak di bilangan Sunter, Jakarta Utara, kepada anaknya, tidak sah.

"Hakim memutuskan berdasarkan analisanya sendiri, di mana menyebut surat kuasa yang dibuat di Singapura itu adalah surat kuasa mutlak dan itu tidak sah, sesuai Inmendagri No 14 Tahun 1982," ucap Rully.

Menurutnya, Inmendagri No 14 Tahun 1982 bukan ditujukan untuk individu, melainkan kepada Gubernur, Wali Kota, sampai camat sebagai instruksi untuk tidak menerima surat kuasa mutlak.

Baca Juga: Ketua PN Jakarta Utara Berharap Panitera Jujur



Rully mengatakan, dalam memutus suatu perkara perdata, hakim harusnya bersikap pasif.

 "Hakim hanya mempertimbangkan segala sesuatu yang diajukan oleh para pihak. Dalam perkara ini, para pihak tidak ada bicara tentang sah atau tidaknya jual-beli tersebut, melainkan pengosongan rumah," tuturnya.

Selain itu, kata Rully, pembuktian dalam perkara perdata bersifat formal. Dalam hal ini, Penggugat membuktikan bahwa seluruh surat asli, baik Surat Kuasa, AJB, dan sertifikat yang sudah balik nama. Juga telah terjadi pembayaran, termasuk bayar PPH dan BPHTB.

 

Baca Juga: Majelis Hakim PN Jakarta Utara Menjadi Saksi Dalam Persidangan?

E.A pihak Tergugat hanya membuktikan bahwa mereka membuat laporan polisi di Polda. "Semua bukti otentik yang diajukan tersebut sama sekali tidak dipertimbangkan. Hakim hanya berasumsi sendiri saja," ucapnya.

Kondisi ini diperparah, pasca putusan yang dibacakan pada 9 Agustus 2022 lalu, pihaknya belum menerima secara resmi salinan putusan.

"Kami sudah dua kali menyurati PN Jakut untuk meminta salinan putusan. Mereka beralasan masih ada perbaikan. Mudah-mudahan hakim tidak merubah isi putusan sebagaimana yang sudah dibacakan dalam sidang,” tuturnya.

Kasus ingkar janji (wanprestasi) yang dilakukan Hanapi berawal saat ia dan istrinya menjalani pengobatan di Singapura.

Hanapi dan Meilisa Nurmawan (istrinya), pada 5 Mei 2011, sepakat memberikan kuasa kepada Lianawati (putrinya) untuk menjual, mengalihkan, dan atau menghibahkan sebidang tanah berikut bangunan seluas 2.000 meter persegi yang terletak di bilangan Sunter, Jakarta Utara.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat