unescoworldheritagesites.com

Price Control Oleh Pemerintah Diduga Penyebab Kelangkaan Migor - News

Suasana sidang di PN Jakarta Pusat




Pengendalian harga yang dilakukan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfhi diduga menjadi biang kerok terjadinya kelangkaan minyak goreng (migor).

Dari hasil studi analisisnya, James K. Galbraith, ekonom asal Amerika Serikat dalam tulisannya di New York Times mengatakan, "Price controls still a bad idea".

Hal tersebut juga ditanyakan oleh Prof Otto Hasibuan Kuasa Hukum Stanley MA, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, salah satu terdakwa kasus dugaan tindak pidana minyak goreng, kepada saksi ahli Lukito, terkait pengontrolan harga migor yang mengakibatkan kelangkaan, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (7/12/2022).

Baca Juga: Tak Ingin Masyarakat Kesulitan, Kapolri: Jangan Lagi Terjadi Kelangkaan Minyak Goreng Curah

Ditanya demikian, saksi ahli mengatakan, sependapat dengan pernyataan itu.

 "Ya, bisa terjadi bila dilakukan pengontrolan harga," ujar Lukito.

"Kebijakan pengontrolan harga yang dibuat Menteri Lutfhi telah membuat migor menjadi langka. Sebab penetapan harga eceran tertinggi (HET) yang dikeluarkan membuat produsen enggan menjual produknya," kata Otto, dalam siaran persnya, Kamis (8/12/2022).

Baca Juga: Boyamin Saiman Ingatkan Majelis Hakim Kasus Migor Jangan Sampai Masuk Angin



Dijelaskannya, dalam dakwaan disebutkan ada kerugian perekonomian negara. Tapi, sampai sekarang tidak ada kejelasan rumusan untuk menyatakan bahwa benar ada kerugian perekonomian negara sebagai dampak dari kelangkaan migor tersebut.

 

Jalannya sidang  kasus migor di  PN  Tipikor Jakarta Pusat.
Jalannya sidang kasus migor di PN Tipikor Jakarta Pusat.


"Tadi saksi ahli menyatakan, indikator kerugian perekonomian negara diakibatkan naiknya inflasi dan tingginya tingkat kemiskinan. Tapi tidak ada yang menyatakan bahwa kerugian perekonomian negara diakibatkan karena kelangkaan migor. Dalam hal ini, tidak ada kesepakatan dari para ahli terkait hal tersebut," tuturnya.

 

 



Otto menambahkan, dalam kasus ini tidak ada penegasan yang menyatakan bahwa ada kerugian perekonomian negara.

Baca Juga: PT LBS Akui Pelanggaran Dalam Penjualan Migor di Kabupaten Sleman dan Ajukan Perubahan Perilaku ke KPPU
 "Kalau hukum itu masih labil, dengan kata lain pasal karet ya tidak bisa diterapkan dong," kataOtto nenegaskan.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) ini melanjutkan, peraturan Mendag yang berubah-ubah telah melahirkan kekacauan.

"Contohnya, saat jam 00.00 WIB diberlakukan HET migor Rp 14.000 per liter. Beberapa jam sebelumnya, barang telah dijual ke distributor seharga Rp 17.000 per liter dan dalam perjalanan ke suatu tempat untuk selanjutnya di pasarkan. Kira-kira mau tidak distributor menurunkan harga menjadi Rp 14.000, sementara dia sudah beli dengan harga Rp 17.000? Tentu tidak mau. Kalau mau lakukan perubahan harga, aturan harus dikeluarkan setidaknya dua minggu sebelumnya, tidak bisa mendadak dan berharap distributor melakukan penyesuaian harga. Itu sama saja mau 'membunuh' distributor," ucapnya.

Baca Juga: Penyidik Kejagung Intensifkan Terus Penanganan Korupsi Ekspor Migor

Dengan tegas Otto mengatakan, "Jangan bebankan hal ini kepada produsen, padahal yang salah adalah menterinya (pemerintah) sebagai pembuat kebijakan," katanya.

Tak hanya itu, Otto juga mengungkapkan keanehan lain terkait perkara tersebut.

"Kok hanya mereka yang diperkarakan, sementara banyak produsen lain yang besar-besar juga melakukan hal yang sama. Karena kelangkaan migor yang berdampak pada larangan ekspor diakibatkan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan selalu berubah-ubah," ujar Otto.

Baca Juga: Para Terdakwa Kasus Ekspor Minyak Goreng Ajukan Nota Keberatan Atas Surat Dakwaan JPU

Harusnya, tambah Otto, Menteri Perdagangan dihadirkan guna memberi kesaksian sehingga semakin  terang benderang.

"Pihak Kejaksaan harus memaksa Mendag Muhammad Lutfhi yang sudah tiga kali mangkir untuk hadir," ucap Otto.

Dia melanjutkan, Stanley didakwa tidak bisa memenuhi domestic market obligation (DMO), sebagai salah satu persyaratan diberikannya izin ekspor.

"Kita sudah membuktikan di pengadilan bahwa DMO yang dimaksud sebesar 20 persen dari jumlah ekspor sudah dipenuhi oleh Permata Hijau Group untuk memenuhi pasar domestik. Dengan kata lain, karena DMO sudah dipenuhi, maka izin ekspor sudah bisa diperoleh," kata Otto.

Baca Juga: Forkopimda Jatim Lakukan Pengecekan Harga Dan Distribusi Migor Di Pasar Soponyono Rungkut

Dakwaan lainnya, Stanley dikatakan mempengaruhi Direktur Jenderal Perdagangan Lar Negeri (Dirjen Daglu) Indra Sari Wisnu Wardhana, untuk mengeluarkan Perizinan Ekspor (PE).

"Tidak ada satu saksipun yang telah dihadirkan di persidangan menyatakan hal tersebut. Dengan kata lain dakwaan tersebut harusnya gugur," tuturnya.

Dakwaan ketiga dikatakan, terjadi perubahan tentang rencana ekspor. "Sekarang kan semua serba online. Sementara pemerintah tidak menyiapkan sistem (channel) untuk melakukan pelaporan. Kalau tidak ada sistemnya ya mau melapor kemana? Dan lagi, tidak ada lagi kewajiban untuk melaporkan perubahan rencana ekspor karena peraturannya sudah dirubah," jelas Otto.

Baca Juga: Forkopimda Jatim Lakukan Pengecekan Harga Dan Distribusi Migor Di Pasar Soponyono Rungkut

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat