unescoworldheritagesites.com

Keinginan Ubah Putusan MK Terkait Umur Gibran Patut Dipertanyakan - News

Keinginan Rubah Putusan MK Terkait Umur Gibran Patut dipertanyakan (Istimewa)

: Hakim atas nama  Negara mengetuk palu memutuskan perkara dengan seadil-adilnya.

Tugas hakim itu telah  dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Yang ujungnya membawa Gibran lolos sebagai bakal calon wapres dampingi Prabowo.

Sekarang apa masalahnya bagi bangsa ini. Sebagai bangsa yang baik kita harus  menerima apa pun putusan MK.

Baca Juga: Anggota DPR RI Robert Joppy Kardinal Minta, Pemda PBD Alokasikan 30 persen Dana Otsus untuk Pendidikan

Karena Putusan MK bersifat final dan mengikat. Hal itu berarti putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK.

Putusan MK tersebut harus dilaksanakan terlepas dari adanya pro dan kontra.

Putusan MK berlaku bagi semua orang (erga omnes). Perlu dipahami bahwa putusan MK yang menambahkan frasa pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu, bukan hanya ditujukan kepada seorang Kepala Daerah saja.

Namun juga berlaku bagi semua jabatan yang dipilih melalui Pemilu.

Baca Juga: Penting Restorasi Keluarga dalam Penguatan Pemahaman Keagamaan Anak

Termasuk  atau berlaku juga bagi   DPR  DPD dan DPRD.

Terkait dengan berlangsungnya sidang dugaan pelanggaran kode etik hakim Konstitusi, Majelis Kehormatan MK tidak dapat membatalkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Tidak ada dasar hukum yang menyebutkan Majelis Kehormatan MK dapat membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi.

Dukungan terhadap Majelis Kehormatan MK agar membatalkan putusan tersebut menunjukkan sikap yang berlawanan dengan konstitusi.

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 sudah demikian jelas dan tegas menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir.

Baca Juga: Koarmada III Terima 2 Kapal Tunda

Dan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Dengan demikian tidak ada upaya hukum guna membatalkan putusan MK.

Oleh karena itu dipertanyakan keinginan untuk membatalkan putusan MK tersebut.

Ketua PEDPHI  Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H mengatakan, sebagai negara hukum, kewajiban mentaati hukum berlaku bagi semua warga negara. Dan sekaligus negara harus menjamin.

Negara menjamin  terselenggaranya pelaksanaan hukum secara pasti dan adil.

Putusan MK harus dimaknai sebagai jaminan perlindungan bukan hanya ditujukan kepada kepentingan individu.

Baca Juga: Berlomba Peringati HUT BRI ke-128 BO BRI Abepura Gelar Pemeriksaan Kesehatan Gratis

Atau kepentingan masyarakat akan tetapi juga menyangkut kepentingan negara.

Suka atau tidak suka terhadap Putusan MK yang pada akhirnya menjadikan Gibran sebagai Cawapres dan disandingkan dengan Prabowo, demikian itu sudah sah secara hukum.

Segala macam perdebatan maupun berbagai manuver seperti gagasan Hak Angket DPR tidak dapat memberikan pengaruh apa pun terhadap putusan MK.

Khusus menyangkut gagasan Hak Angket, perlu dipertanyakan. Sejatinya pelaksanaan Hak Angket menunjuk pada adanya dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah.

Baca Juga: Terancam Prospek KEK Sorong dongkrak Ekonomi Papua Barat Daya

Pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan harus diawali dengan adanya perbuatan konkrit.

Di sini dipertanyakan perbuatan konkrit apa yang terjadi. Seiring dengan itu, adakah hubungan sebab akibat (kausalitas) dengan adanya dampak yang demikian luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

"Pertanyaan tersebut pernah saya sampaikan langsung pada Masinton Pasaribu selaku pihak yang mengusulkan Hak Angket terhadap MK saat dialog di salah satu stasiun televisi. Namun ternyata tidak ada kejelasan," kata Abdul Chair Ramadhan. Dikatakan Ramadhan Penjelasan yang disampaikan justru menunjukkan ketidakjelasannya. Disini terlihat semakin jelas ketidakjelasannya.

Baca Juga: Kader Golkar Anggota DPR RI Robert Joppy Kardinal : Revolusi Cara Berpikir Pemuda Kristen

Desakan pembatalan terhadap putusan MK tentang uji materi batas usia Capres & Cawapres oleh Majelis Kehormatan MK bertentangan dengan UUD 1945.

Ketika dikatakan bertentangan, maka Majelis Kehormatan terlarang membatalkan putusan MK tersebut.

Putusan Majelis Kehormatan tidak sederajat dengan putusan MK.

Baca Juga: Terancam Prospek KEK Sorong Dongkrak Ekonomi Papua Barat Daya

Maka apakah mungkin putusan Mahkamah Kehormatan yang tidak sederajat itu dapat membatalkan putusan MK yang kewenangannya disebut dalam UUD 1945?

Jawabannya tentu tidak mungkin, demikian itu menjadikan Mahkamah Kehormatan terlarang melakukannya, demikian Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H, Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI). ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat