unescoworldheritagesites.com

Demi Kepastian Hukum, Restorative Justice Diminta agar Berdasarkan UU - News

Jampidum Kejaksaan Agung, Dr Fadil Zumhana

 

 

: Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta Reda Manthovani menilai Indonesia membutuhkan Undang-Undang Restorative Justice. Oleh sebab itu, dia berharap Undang-Undang tentang Restorative Justice atau Keadilan Restoratif dapat segera diterbitkan agar ada kepastian hukumnya.

“Keadilan dapat dirasakan masyarakat Indonesia melalui restorative justice,” demikian Reda kepada anggota Komisi III DPR RI yang melakukan kunjungan kerja ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, Kamis (15/12/2022).

Reda menyampaikan kepada Komisi III bakwa kasus narkotika dapat dilakukan pendekatan restorative Justice. “Narkotika tidak hanya persoalan hukum saja. Tapi juga ada masalah kesehatan yang harus dipertimbangkan,” tuturnya.

Baca Juga: ST Burhanuddin: RJ Berkembang Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Umum

Ahmad Sahroni dari Komisi III  mengapresiasi kegiatan penyuluhan dan penerangan hukum melalui program Jaksa Masuk Sekolah (JMS) dan pelaksanaan persidangan yang efisien yang dilakukan Kejati DKI Jakarta. “Ke depannya program JMS diharapkan bisa juga melibatkan DPR RI,” kata Sahroni.

Sementara itu, Kejaksaan Agung melalui Jampidum Fadil Zumhana menyetujui lima kasus pidana umum dihentikan penuntutannya berdasarkan restorative justice.

Kelima berkas itu masing-masing atas nama; 1. Tersangka Luther Akwils Kafiar dari Kejaksaan Negeri Biak Numfor yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan; 2. Tersangka Amirullah alias Ulla bin Daeng Makitta dari Kejaksaan Negeri Nunukan yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian; dan 3. Tersangka Eva Musdalifah alias Eva binti Sudirman Hamid dari Kejaksaan Negeri Kutai Timur yang disangka melanggar Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Berikutnya; 4. Tersangka Abdul Latif als Pak Jon bin (alm) Lawali dari Kejaksaan Negeri Kotabaru yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan; dan 5. Tersangka Minta Ito als Ito binti Khoirudin dari Kejaksaan Negeri Kotabaru yang disangka melanggar Pasal 362 jo. Pasal 53 Ayat (1) KUHP tentang Pencurian.

Baca Juga: Berkat RJ, Susul Menyusul Tersangka Tidak Sampai Dijatuhi Hukuman

Alasan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini karena telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf; Tersangka belum pernah dihukum; Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana; dan Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.

Syarat lainnya; Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya; Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi; dan Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.

Juga berdasarkan pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif. “Tentunya juga sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” kata Fadil Zumhana.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat