unescoworldheritagesites.com

Diskusi Akhir Tahun 2023, Kemunduran Demokrasi: Kembalinya Negara Kekuasaan dan Pengabaian Hak Asasi Manusia - News

ilustrasi  (rilis )

: Pada tanggal 28 Desember 2023, Koalisi Masyarakat Sipil gelar diskusi dan catatan akhir tahun tentang kondisi demokrasi, hukum dan hak asasi manusia. Secara umum, koalisi memandang demokrasi Indonesia di era pemerintahan Presiden Jokowi mengalami kemunduran yang serius, yang ditandai dengan adanya kembalinya negara kekuasaan dan pengabaian terhadap hak asasi manusia dimana puncaknya adalah untuk tujuan kepentingan politik elektoral.

Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS menyatakan  situasi penghormatan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi dalam 9 tahun terakhir mengalami penurunan yang amat sangat drastis dan berada dalam situasi krisis. Hal ini tentu berkorelasi dengan pengabaian tanggung jawab penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sampai sekarang belum kunjung dituntaskan secara berkeadilan dan bermartabat. Faktor lainnya adalah penutupan ruang sipil yang dilandasi dengan semakin sempitnya ruang berpendapat dan berpikir serta berekspresi. Ruang2 tersebut ditutup dengan makin maraknya fenomena pembungkaman, represivitas, serangan digital dan kriminalisasi terhadap para pembela HAM, pembela lingkungan, jurnalis, pegiat anti korupsi dan akademisi.

Gufron Mabruri, Direktur Imparsial, mengatakan bahwa kemunduran demokrasi dan kemunduran hak asasi manusia merupakan sesuatu yang faktual, bukan hal yang mengada-ngada. Demokrasi yang dibangun sejak tahun 1998 yang seharusnya semakin terkonsolidasi, di era pemerintahan Jokowi justru mengalami kemunduran yang serius. Demorkasi substantif yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan dan HAM dikorupsi oleh perilaku elit politik yang pragmatis.

Baca Juga: Bawaslu Kota Bekasi Rinci Langkah Antisipatif Pemilihan DPK

Kondisi kemunduran demorkasi, kebebasan dan hak asasi manusia tidak bisa dilepaskan dari prioritas kebijakan Jokowi sejak awal pemerintahannya yang memprioritaskan pada pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan. Model pembangunan ini memberi ruang pada investasi modal asing dan tidak berpihak pada rakyat, hal ini tercermin dari proyek nasional dan berbagai pembangunan infra struktur yang meminggirkan hak-hak rakyat. Untuk mengamankan kepentingan pembangunan tersebut, segala upaya dilakukan termasuk mengabaikan pembangunan politik demokrasi, hukum dan HAM.

Dalam konteks HAM misalnya, pemerintahan Jokowi cenderung mengedepankan kebijakan yang selektif dalam penegakan HAM. Agenda HAM yang memiliki resiko politik bagi peemrintahan atau presiden, seperti penyelesaaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, cenderung diabaikan. Jokowi cenderung memilih jalan non yudisial meskipun hal itu tidak sejalan dengan prinsip pemerinhan keadilan dan kebebasan korban.

Terakhir, Gufron juga menyoroti pentingnya politik elektoral (pemilu 2024) untuk dijadilan sebagai media politik bagi gerakan Masyarakat sipil untuk merebut kembali ruang demokrasi yang dibajak oleh elit politik. Jangan sampai kemunduran demokrasi dan hak asasi manusia terus berlanjut setelah pemilu 2024, khususnya terpilihnya pemimpin politik nasional yang memiliki catatan buruk dalam pelanggaran HAM berat masa lalu.

Baca Juga: Bawaslu Kota Bekasi Melakukan Pencegahan dan Identifikasi Potensi Kerawanan Pemilu

Halili Hasan, Direktur Eksekutif Setara Institute mengatakan, demokrasi kita mundur dan mengarah pada otoritarianisme karena tidak berfungsinya kontrol terhadap kekuasaan. Pengawasan atas kekuasaan antar kelembagaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang terjadi justru sebaliknya, cabang-cabang kekuasaan yang ada bersekongkol melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan. Bentuk yang lain, kekuasaan politik eksekutif, di bawah Presiden, melakukan kooptasi atas cabang-cabang kekuasaan lain, baik legislatif maupun yudikatif.

Di tengah kemandekan fungsi pengawasan di level kelembagaan, fungsi kontrol di level rakyat juga dibungkam. Kontrol langsung yang dilakukan oleh masyarakat sipil berhadapan dengan kriminalisasi. Beberapa media dan jurnalis mengalami kekerasan sehingga dia tidak bisa menjadi saluran kontrol rakyat atas kekuasaan. Mahasiswa yang berusaha menyuarakan pandangan dan pendapat yang berbeda atau beroposisi terhadap kekuasaan politik diintimidasi sedemikian rupa, melalui kriminalisasi dan perpanjangan tangan kekuasaan di kampus.

Dengan demikian, demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja, dan bahkan mengalami kemunduran serius di tangan rezim Presiden Jokowi. Presiden telah gagal sepenuhnya mengartikulasikan harapan publik, bahkan dunia internasional, pada tahun 2014.

Baca Juga: Pilpres 2024: Nasib Capres Anies Baswedan, Sudah 6 Izin Kegiatan Dicabut Kena Tampar Pula

Pertaruhan puncak bagi demokratisasi di Indonesia terletak pada Pemilu 2024. Kekuasaan politik Jokowi, tidak mungkin tidak, akan bekerja untuk memperpanjang kekuasaan politiknya melalui salah satu Paslon, dimana anak Presiden menjadi Cawapres. Namun demikian, saya percaya, masyarakat tidak akan berdiam diri mendapatkan kedaulatan politiknya dirampas dan demokrasi dirusak sedemikian rupa. Rakyat akan melaksanakan fungsi kontrol otentik yang dibutuhkan, agar ekosistem demokrasi Indonesia membaik dan kembali ke jalur konsolidasi demokrasi yang seharusnya.

Muhammad Islah, Deputi Eknas WALHI mengatakan demokrasi kita sedang dipreteli dengan cara mengubah beberapa peraturan-peraturan perundang-undangan. Undang-undang yang direvisi oleh pemerintah dijadikan sebagai instrumen untuk membungkam orang-orang atau kelompok yang tidak pro pada penguasa. Undang-Undang ITE, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja menggambarkan hal demikian.

UU Cipta Kerja bekerja untuk menutup ruang-ruang demokrasi. Di sektor lingkungan saja, ada tiga persoalan sangat serius. Pertama, penegakan hukum dilemahkan. Kedua, kejahatan lingkungan diputihkan. Ketiga, partisipasi warga dihabisi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat