unescoworldheritagesites.com

Pakar Hukum Kehutanan: Tidak Ada Permasalahan Hukum dalam kasus Duta Palma - News

Pakar pidana sebut tidak ada Permasalahan Hukum dalam kasus Duta Palma  (ilustrasi )

 

:  Pakar Hukum Kehutanan dari Universitas Al Azhar Indonesia Dr Sadino menilai, sesungguhnya tidak ada permasalahan hukum dalam perkara Duta Palma (DP) Group  ditinjau dari Hukum Kehutanan. Karena keterkaitannya dengan hutan, maka asas lex specialis systematis hukum yang harusnya digunakan ialah Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) atau dan peraturan turunannya dari Undang-Undang Kehutanan, bukan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Menurut Sadino, dua dari lima perusahaan Duta Palma, yaitu PT Amal Kencana Tani (KAT) dan PT Banyu Bening Utama sudah memiliki hak guna usaha (HGU).

Sedangkan tiga perusahaan lainnya, yaitu PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, dan PT Seberida Subur memang belum mengantongi HGU. Tetapi sudah mempunyai izin lokasi (ILOK), izin usaha perkebunan (IUP), dan sudah mengikuti peraturan perundang-undangan mulai dari Peraturan Pemerintah dj bidang kehutanan.

Baca Juga: Hakim Tunggal Nyatakan Sah Proses Hukum Penyitaan Aset Triliunan Rupiah Milik PT Duta Palma Group

Oleh sebab itu, dirinya menyayangkan dakwaan jaksa yang menyebut seolah-olah lima perusahaan itu mempunyai permasalahan yang sama.

“Kalau HGU apa kawasan hutan? Bukan. Bisa dilihat dari definisi kawasan hutan negara dari UU Kehutanan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan tetap yang tidak dibebani hak hak atas tanah. Ini sesuai PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan,” ujar Sadino kepada media, Senin (13/2/2023).

Baca Juga: Penyidik Kejaksaan Agung Periksa Saksi Terkait Dugaan Korupsi PT Duta Palma Group

Sadino memaparkan, hutan yang dimaksud dalam UU Kehutanan adalah kawasan hutan negara. Kawasan hutan negara adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah, yang tidak dibebani hak atas tanah. Karena itu, lahan yang ada HGU-nya, itu bukan kawasan hutan. HGU tunduk pada UUPA No. 5 tahun 1960.

Kemudian, untuk tiga perusahaan lainnya telah mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal tersebut dilakukan sebelum UU Cipataker maupun setelah adanya UU Ciptaker.
”Apabila mengikuti aturan UU Ciptaker, dia akan dikenakan sanksi administratif membayar PNBP.

Kalau dia sudah mengajukan, nanti akan terverifikasi, dia membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Itu berupa Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Rebosiasi (DR). Kemudian setelah mendapat invoice dari pemerintah (KLHK) , dia bayar, dia langsung dapat izin pelepasan,” atau surat penggunaan kawasan hutan ungkap Sadino.

Akademisi yang membidani dilahirkan Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada saat itu dan Ahli Hukum Kehutanan pada pengujian Putusan MK no. 45/PUU-IX/2011 ini menegaskan, kalau pun Duta Palma dipermasalahkan, seharusnya masuk dalam ranah administratif sesuai PP 24 tahun 2021.

Untuk itu, dirinya mengaku heran dengan Kejaksaan yang membawa kasus seperti ini ke ranah pidana.“Dia (kejaksaan) menggunakan UU Tipikor seolah-olah undang-undang sapu jagad. Padahal, ada batasannya dia menggunakan itu. Penyidik seolah-seolah semua supaya bisa masuk, terus dimasukan korupsi. Ini namanya kan mengada-ada juga,” tegasnya.

Terkait kerugian negara, kata dia, DP sama sekali tidak menggunakan uang negara. Karena DP adalah perusahaan swasta, yang menggunakan modal sendiri.

Sadino memandang, perkara DP sebenarnya memperlihatkan carut-marut dalam konteks regulasi perkebunan, kehutanan dan tata ruang yang tidak sinkron. Karena itu lahir namanya Pasal 110A dan 110B UU Ciptaker dan Perpu 2 tahun 2022 untuk menengahi dan menyelesaikan persoalah kawasan hutan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat