unescoworldheritagesites.com

Cemas Sengketa Pilpres - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi, Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)


Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi 

: Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan mengumumkan hasil sengketa
pilpres pada 22 April dan pastinya dari semua kubu yang terlibat berharap cemas terhadap hasilnya. Hal ini tidak bisa terlepas dari semua bukti dan saksi yang dihadirkan dalam persidangan di MK yang menyita dan menguras energi. Beberapa temuan bukti menguatkan
dukungan, meski di sisi lain pernyataan sejumlah saksi juga bisa mementahkan.
 
Bahkan pada dalam persidangan juga banyak diwarnai kritik dan kontroversi, termasuk juga bagaimana cara operasional Sirekap yang memberikan dampak terhadap penggelembungan suara. Realita ini tentu akan menjadi pertimbangan 8 Hakim MK untuk cermat mengambil keputusan yang terbaik bagi kemajuan dan pendewasaan demokrasi di republik ini yang dari hasil MK juga sebelumnya justru diyakini mencoreng marwah demokrasi.

Muasal dari sengketa pilpres sejatinya bukan dari kemenangan paslon 02 yaitu Prabowo – Gibran tapi lebih mengacu prosedur pengajuan salah satu kandidat cawapres Gibran yang mencederai marwah demokrasi. Setidaknya, kilas balik sengketa Pilpres tidak bisa terlepas dari keputusan MK ketika masih diketuai si Paman Usman yang kemudian hasil dari putusan itu memicu perdebatan, kontroversi dan diskusi panjang terutama mengacu legalitas yang ditetapkan.
 
Baca Juga: Etos Arus Balik
 
Setidaknya, perubahan usia yang disepakati hasil putusan MK itu memberikan keistimewaan kepada Gibran yang notabene anak Presiden Jokowi. Hal ini kemudian berdampak sistemik terhadap proses pelaksanaan pesta demokrasi. Realita lain yang juga menjadi kontroversi adalah cawe-cawe Presiden Jokowi terhadap aturan main pesta demokrasi, terutama pilpres yang melibatkan si Gibran, anaknya.

Pernyataan cawe-cawe bukan hanya dalam bentuk pengerahan aparat dan ASN, tapi juga penyaluran bansos yang menyasar kepada sejumlah masyarakat. Bahkan, persidangan di MK juga dipaparkan ada sejumlah pihak yang tidak terdaftar pada penerima bansos tapi bisa
mendapatkannya. Setidaknya, hal ini terlihat dari penyaluran bansos yang dilakukan  Presiden di depan istana.
 
Terkait hal ini sangat beralasan jika kemudian persidangan MK berkepentingan untuk
menghadirkan 4 Menteri untuk mendapatkan informasi yang baik dan benar berkaitan dengan cawe-cawe Presiden dalam pilpres. Kehadiran para menteri itu memang memberikan pencerahan terhadap pelaksanaan sidang dan pastinya menjadi acuan bagi 8 hakim di MK untuk mampu merumuskan dan mengambil kesimpulan yang terbaik bagi pendewasaan dan kehidupan demokrasi di republik ini.
 
Baca Juga: Euforia Mudik

Pelajaran menarik dari hajatan pesta demokrasi, terutama pilpres pada 2024 menjadikan fenomena betapa demokrasi bisa dengan sangat mudah untuk terkoyak dan dicabik oleh sebuah nafsu kepentingan sesaat yang berbalut dinasti politik. Betapa kemudian dinasti di era Jokowi benar-benar sedang dibangun, termasuk menempatkan Kaesang di jajaran
PSI sebagai Ketua. Imbasnya, penggelembungan suara di PSI juga dikritisi, meski dalam tahap akhir ternyata tidak lolos ke Senayan.
 
Bahkan, pencalonan Bobby juga kemudian menuai ancaman karena tidak mungkin melalui PDI-P yang kemarin menjadi kendaraan politiknya. Selain itu, rumor istri Kaesang yang digadang-gadang maju pilkada semakin memperburuk fakta dinasti politik yang sedang dibangun Jokowi di akhir masanya.

Carut marut wajah demokrasi di akhir pemerintahan Jokowi menjadi catatan menarik di republik ini karena mencederai semangat reformasi. Padahal, gelora reformasi 1998 lalu adalah anti KKN yang tumbuh subur di era orba. Ironisnya, di era reformasi ternyata isu KKN justru semakin vulgar dan culas dipraktekan dan dipertontonkan.
 
Baca Juga: Iklim Kondusif
 
Bahkan, strategi main sandera atas sejumlah kasus hukum digunakan untuk membuat lawan bersujud dan bersimpuh seolah tak berdaya. Paling tidak, hal ini terlihat dari koalisi yang terjadi, juga harapan hak angket yang sebelumnya tampak seperti sangat bersemangat tapi akhirnya justru dikebiri.
 
Hal ini memang semakin menguatkan asumsi bahwa dalam kehidupan politik tidak akan pernah ada lawan abadi karena yang terpenting adalah menyelamatkan kepentingan pribadi, golongan dan partai. Koar-koar oposisi ternyata ambyar ketika bisa mendapatkan
kursi kementerian meski hanya di sisa waktu 6 bulan pemerintahan. Fakta ini kemudian menjadi cibiran di medsos oleh unggahan dengan narasi cara menjinakan anjing adalah dengan memberikan tulang. Ironis sekali. Semoga hasil putusan MK nanti tidak antiklimaks sehingga “Habis Gelap Terbitlah Terang” akan benar-benar terjadi. ***
 
* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta
 
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat