unescoworldheritagesites.com

Euforia Mudik - News

Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi, Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Ist)


Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi 

: Mudik telah tiba dan euforia mudik tetap menjadi fenomena klasik pasca
ramadan dan berlanjut lebaran. Oleh karena itu, mudik akan melupakan dan pastinya juga melenakan sengketa pilpres yang diduga terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Hal ini menyadarkan publik bahwa mudik tetap menjadi fenomena yang melenakan dan juga melupakan sejenak kepenatan hidup dan kehidupan.
 
Apalagi bagi para perantau tentunya mudik menjadi bukti eksistensi keberhasilan di
perantauan. Oleh karena itu karena fokus masyarakat kini lebih mengarah kepada bagaimana bisa mudik dan tentu selamat sampai kampung halaman. Di satu sisi, perburuan terhadap tiket mudik dan atau mudik gratis di era now tetap menjadi prioritas meski di sisi lain konflik seputar pembayaran THR juga masih menyisakan persoalan klasik.

Di sisi lain bagi yang telah mendapatkan THR dan gaji ke-13 tentu akan bisa menambah amunisi buat ongkos lebaran, tentu memperlancar tahapan mudiknya. Meski di sisi lain ada juga sebagian masyarakat yang belum bisa tersenyum menyambut lebaran kali ini. Bukan karena pilihannya kalah dalam pilpres kemarin, tetapi karena masih belum jelas kapan THR
dibayarkan. Jangankan berharap gaji ke-13, gaji bulanan ini saja juga belum jelas kapan dibayarkan.
 
Baca Juga: Iklim Kondusif
 
Artinya problem klasik lebaran cenderung selalu sama dan fakta ini menjadi tantangan yaitu tidak saja para perantau (calon pemudik) tetapi dunia usaha. Pemerintah juga tidak bisa terlepas dari persoalan mudik, termasuk misalnya penyediaan uang untuk keperluan selama lebaran dan juga persiapan lalu lintas selama mudik, juga arus balik, selain juga  berkepentingan pengamanan kamtibmas secara menyeluruh. Fakta lain adalah kepastian kebutuhan terhadap BBM dan daya listrik.

Dualisme arus mudik dan balik setiap tahun menjadi persoalan di perkotaan dan tentu di berbagai daerah tujuan perantauan. Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika kemudian fenomena arus mudik dan juga arus balik menjadi perhatian nasional. Jika dicermati hal ini tidak bisa terlepas dari tuntutan pemenuhan hidup terutama membandingkan kondisi di daerah asal dan juga jaminan ‘kesuksesan’ dari para perantau saat mudik yang justru dipertontonkan di daerah asalnya.
 
Realitas ini kemudian menjadi pembenar ketika nafsu untuk merantau melalui arus balik menjadi semakin tinggi setiap tahunnya. Tentu tidak bisa disalahkan jika kemudian banyak yang berbondong-bondong ke perantauan untuk mengadu nasib demi perbaikan taraf hidup.
 
Baca Juga: Urgensi E-voting
 
Artinya, komitmen mereduksi arus balik di perkotaan dan atau tujuan perantauan
tidak bisa mengabaikan urgensi pembangunan yang ada di daerah, pedesaan dan pinggiran agar daya hidup menjadi lebih baik dan sejahtera yang akhirnya mereduksi nafsu merantau ke perkotaan. Ironisnya, komitmen era otda di republik ini masih belum berhasil sehingga migrasi menjadi tujuan perbaikan kehidupan.

Terlepas dari berbagai euforia dibalik implementasi era otda, termasuk makin maraknya tuntutan pemekaran, bahwa era otda yang mulai berlaku 1 Januari 2001 belum memberi hasil optimal terhadap peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran secara sistematis. Bahkan 16 tahun sejak otda bergulir ternyata kini justru kian banyak terjadi kemiskinan,
kasus korupsi kepala daerah dan politik dinasti. Padahal, seharusnya era otda memberi manfaat terbesar melalui penguatan ekonomi lokal yang memberdayakan masyarakat.
 
Fakta ini menegaskan pemekaran memang perlu dikaji ulang sehingga esensi terhadap tujuan era otda yang meningkatkan kesejahteraan bisa tercapai, bukan sebaliknya justru
memacu ego pemekaran. Kegagalan otda ditunjukan dengan masih tingginya arus balik pasca lebaran dibanding arus mudik dan Jawa khususnya Jakarta masih menjadi tujuan utama arus balik sehingga konsentrasi masih berkutat di Jawa. Jika nanti ibu kota jadi dipindah apakah Jakarta masih menjadi tujuan arus balik dan perantauan?
 
Baca Juga: Problem Perberasan

Problem klasik arus mudik dan balik menjadi catatan penting untuk menciptakan kondisi kesejahteraan dan tentu manajemen arus mudik – balik itu sendiri. Argumennya karena arus mudik – balik melibatkan jutaan manusia demi silaturahmi. Larangan mudik di saat  pandemi
kemarin menjadi pelajaran penting meski masih banyak juga yang curi peluang untuk bisa tetap mudik, meski ada protokol kesehatan secara ketat. Semoga Ramadan – Lebaran 2024 memberikan berkah bagi semua. ***
 
* Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi - Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta
 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat