unescoworldheritagesites.com

Bikin Parpol Sendiri demi Legacy Jokowi, Mimpi Jokowi Sesungguhnya Bukan Mimpi Siang Bolong Qodari - News

Justino Djogo, MA.MBA (AG Sofyan)

 
Oleh Justino Djogo, MA.MBA
 
: Polemik dan bahkan menjurus ke desas-desus yang menghebohkan di kancah politik Nusantara paska terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden RI ke 8 adalah kemana langkah Jokowi setelah lengser dari kursi kekuasaan setelah menjabat sebagai Presiden RI hingga dua periode. 
 
Kemana Jokowi berjalan agar legacy dan pengaruhnya selama dua dekade tidak usang setelah 20 Oktober 2024, saat dimana terjadi transisi pemerintahan ke Prabowo. 
 
Terbaru, bahkan di Rekernas PDI Perjuangan (PDIP) akhir Mei 2024 ini, pun ada selentingan bahwa petinggi partai dengan simbol banteng moncong putih tak akan mengundang Jokowi, yang sejatinya masih kader mereka. 
 
 
Kita tidak sedang memancing dalam air keruh. Namun secara kasat mata terpampang pandangan jurang politik antara PDIP dan Jokowi. 
 
Bagaimana jurang itu terbentuk, mestinya beberapa retakan ego mereka sedikit bisa kita lihat sebelum pencawapresan Gibran Rakabumi Raka, putra sulung Jokowi.
 
Kalau memang tak ada tempat lagi bagi Jokowi di PDIP, apakah semudah itu bergabung apalagi mengobok-obok partai lain agar mempertahankan eksistensinya? Tentunya jelas tidak.
 
 
Langkah politik Jokowi tak akan sesembrono itu.Tapi mungkin saja para dayang dan pembeo di sekitarnya saja yang paling bernafsu menggodanya. 
 
Bukan saja inner cyrcle Jokowi yang  mendorong Jokowi menganeksasi partai politik sekaliber Golkar. Bahkan lontaran Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari dalam podcast bersama politisi kawakan dan aktivis pergerakan Zulfan Lindan awal Mei 2024 ini bukan cuma tidak masuk akal. Tetapi malahan menggelikan dan terkesan aroma penjilat. 
 
Dari perspektif ilmiah dan politis pun, jika Qodari melandaskan prediksinya yang tendensius dan vulgar menyebut Jokowi sebagai satu-satunya tokoh yang dapat memimpin Golkar agar tegak lurus mendukung pemerintahan Prabowo, sungguh  dangkal dan meremehkan segudang tokoh Golkar.
 
 
Saya menduga ada ketidakpuasan terhadap sikap Golkar yang tidak merekomendasikan Indo Barometer sebagai salah satu lembaga survei bagi bakal calon kepala daerah dari partai paling senior di kancah politik nasional ini. 
 
Sebagai salah satu  perintis eksistensi lembaga survei di Indonesia, tidak elegan jika Qodari mendorong Jokowi merangsek masuk langsung ke pucuk pimpinan Golkar.  
 
Kepongahan intelektual dapat saja terjadi pada siapapun jika  merasa yang paling memiliki semua kebaikan/bonum dan keindahan/pulchrum berpikirnya. 
 
Dalam konteks Qodari ini, perlu saya berbagi sedikit kritik. 
 
 
Begini, jika lembaga survei yang selama ini dipandang antagonis  kepada Pemerintahan Jokowi, belum tentu bersikap sama di Pemerintahan Prabowo kelak. Dan itu tepat jika Golkar merekomendasikan untuk menguliti calon kepala daerah asal Golkar. 
 
Memang Qodari sangat pede alias percaya diri bernostalgia bahwa telah malang melintang ke markas Golkar.
 
Namun itu bukan berarti memahami dapur inti Golkar. Apalagi Qodari bukanlah sama sekali sebagai kader Golkar. Mungkin kalau tidak terlalu berlebihan, saya katakan masih pada tahap simpatisan saja. 
 
 
Nah, atas dasar inilah, bukan isapan jempol belaka bahwa beberapa pihak mendorong Jokowi  masuk parpol yang sudah mapan khususnya parpol anggota KIM tanpa tedeng aling aling dan tata krama. 
 
Politik dan politisi di republik akhir-akhir ini mulai menodai tata krama dan mulai menjangkiti otak para intelektual.
 
Kita harapkan benang kusut PDIP dan Jokowi, juga Gibran  mesti segera terurai.
 
Kita tunggu diplomasi tunggang kuda di Hambalang, Prabowo dan Puan Maharani bisa menjadi alasan PDIP sedikit luluh hati dan mendukung  Jenderal Kopassus ini secara nyata.
 
 
Tak juga harus masuk kabinet . Minimal sedikit mengurangi beban psikologis Gibran dan tentu saja Jokowi jika Prabowo dan Megawati akhirnya bisa semeja menikmati nasi goreng kesukaan Menteri Pertahanan yang disiapkan Megawati nanti. 
 
Jadi, yang merasa risau ya para dayang -dayang Jokowi. 
 
Prabowo punya Gerindra. Lalu apa yang akan dilakukan Jokowi demi anaknya. Dia tentu tak ingin anaknya seperti nahkoda di kapal yang bukan miliknya sendiri.
 
Bikin Parpol Sendiri
 
Godaan kekuasaan para pembantu dan dayang-dayang Jokowi bukan isapan jempol belaka. Ada benarnya kalau  dirasakan tapi tak tampak di permukaan. 
 
 
Operasi senyap, bahkan memanfaatkan persuasi di media massa juga dibarengi pernyataan seperti pengkultusan Jokowi sudah bisa dicium aroma dan dirasakan propagandanya meski gerakannya halus. 
 
Banyak elemen promosi. Sedikit dibaluti dan dibumbui dengan isu IKN dan infrastruktur yang belum rampung. Seolah -olah figur Jokowi harus tetap ada di masa Pemerintahan Prabowo- Gibran.
 
Tentu saja Jokowi harus berada dalam parpol jika mau berperan nyata atau sedikit "mengendalikan" Prabowo dalam pemerintahannya kelak.
 
Padahal, kembali ke PDIP, kecil kemungkinannya, para elit bahkan kader mereka di bawah mau menerima kembali Jokowi yang telah melukai hati. 
 
 
Jurang antara keduanya makin menganga lebarnya dan sakit hati keduanya pun seperti tak dapat disembuhkan tabib politik manapun.
 
Lalu maukah Jokowi memimpin Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bersama sang putra bungsu, Kaesang Pangarep. Tampaknya Jokowi berpikir realistis dan tak akan berdampak banyak. Apalagi PSI tidak lolos ke Senayan.
 
Tidak mudah Jokowi "mengambil alih" parpol yang sudah mapan. Setelah pelantikan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden 20 Oktober 2024 nanti, Jokowi bukan siapa-siapa lagi dalam konteks cengkraman kekuasaan. Dia tidak lagi menggengam kekuasaan itu.
 
Dalam perspektif ini dapat disimpulkan bahwa hanya dengan membentuk partai politik baru  bagi Jokowi untuk bisa meneruskan akar politiknya dan melanjutkan ambisinya seperti didambakan para dayang-dayang Jokowi tadi. Tai bukan seperti yang dimaui Qodari. 
 
 
Saya berpandangan, lebih baik Jokowi melahirkan parpol baru untuk legacy-nya sendiri agar tetap bisa eksis dan terus dikenang sebagai pemimpin republik yang dianggap paling tersukses. 
 
Saya pun tidak ingin berandai-andai bahwa kelak parpol besutan Jokowi dapat mempreteli apalagi mencabik- cabik dinding partai sekuat PDIP kelak, sebagai partai asal yang mengantarnya dari Wali Kota Solo ke Gubernur DKI Jakarta bhingga menjadi Presiden RI dua periode melalui jalur tol politik.
 
Sayangnya, dalam membentuk parpol tak ada jalan tol bagi Jokowi. Ia harus tertatih mengawasi bayi parpolnya sendiri.
 
 
Saya hanya berpikir logis dan realistis, bahwa gaya dan political style Jokowi itu sah-sah saja. Bahasa gaulnya politik sayang anak. Persis yang pernah diungkapkan secara jenaka oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra bahwa kita sedang menyaksikan gaya politik sayang anak dari segelintir petinggi politik.
 
Kita lihat nanti apa yang akan dilakukan Jokowi setelah 20 Oktober 2024. Minimal kita boleh membayangkan dan bahkan sedikit mengintip apa isi mimpi beliau agar tetap eksis dalam konstelasi politik Nusantara, baik dengan atau tanpa parpol bentukannya sendiri. Mimpi Jokowi sesungguhnya bukan angan-angan Qodari. ***
 
* Justino Djogo, MA.MBA- Direktur Eksekutif Forum Dialog Nusantara (FDN). 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat