unescoworldheritagesites.com

Dr Suhardi Somomoeljono: Tafsir Rumusan Kegentingan Memaksa Perppu UU Cipta Kerja Bersifat Menggeneralisir - News

Dr Suhardi Somomoeljono

 

 

: Pro dan kontra terkait dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 2022 oleh Presiden Joko Widodo terkait dengan UU Cipta Kerja kini berlangsung. Praktisi hukum, LSM dan aktivis pekerja cenderung kontra dengan Perppu tersebut. Sedangkan sebagian lagi pro.

Pro-kontra ini, kata praktisi hukum dan akademisi Dr Suhardi Somomoeljono, Minggu (8/1/2023), dalam suatu negara hukum adalah suatu hal yang wajar saja. Masyarakat memiliki hak juga untuk melakukan kontrol dalam bentuk kritik yang membangun sebagai konsekwensi dari suatu negara hukum yang menghomati HAM dalam berbangsa dan bernegara.

Menurut Suhardi, UUD 1945 Pasal 22 dan Putusan MK No.138.PPU.VII.2009 sesungguhnya telah memberikan rumusan parameter kegentingan memaksa.  Akan tetapi masih dalam spektrum kebijakan hukum. Artinya UU tentang kegentingan yang memaksa  belum diundangkan sebagai turunan dari Pasal 22 UUD 1945.

Baca Juga: Perppu Cipta Kerja, Media Asing: Langkah yang Konyol

Namun demikian, katanya,  sesungguhnya dalam Perppu tersebut pemerintah belum memiliki alasan yang bersifat spesifik kegentingan yang memaksa dan/ kedaruratan itu pada sektor apa sehingga sifatnya masih menggeneralisir.

Apakah parameter yang digunakan disebabkan faktor ekonomi, sosial, politik dan lain2nya. Jika parameter alasannya faktor ekonomi faktanya pada saat ini Indonesia pertumbuhan ekonominya cukup sehat dengan catatan ekonomi Indonesia tumbuh 5,44 persen (yoy) dan 3,72 persen (qtq) pada kuartal II-2022 (https://.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/ekonomi-indonesia-kebal-resesi).

Dengan perspektif seperti itu, mestinya Indonesia tidak ada potensi adanya ancaman resesi ekonomi. Lantas  pertanyaan berikutnya,  jika pemerintah tidak mengeluarkan Perppu tahun 2022  apakah UU terkait lainnya yang berkenaan dengan Ciptaker (Cipta Kerja) tidak dapat diberlakukan sebagai hukum positif.

Jika jawabannya UU Ciptaker yang ada masih dapat dilaksanakan sebagai hukum positif yang berlaku maka tentu saja tidak juga terjadi adanya kevakuman UU dalam perspektif tersebut. Perppu secara substansi hukum belum memiliki adanya alasan kegentingan yang memaksa.

Baca Juga: Perppu Ciptaker, Jumhur Hidayat Ajak Mahfud dan Yusril Berdebat Satu Lawan Dua 

Suhardi Somomoeljono kemudian menawarkan solusinya. Dia menyarankan sebaiknya pemerintah mempersiapkan dengan sungguh-sungguh sehingga memiliki rumusan yang secara logika  hukum dan akademis dapat dipertanggungjawabkan secara rasionalitas disertai dengan bukti-bukti empiris yang dapat menggambarkan adanya kedaruratan disertai dengan adanya landasan teori-teori hukum terkait dalam perspektif baik politik sosial ekonomi dan budaya (Poleksosbud).

Namun demikian, kata Direktur Pascasarjana UNMA Banten ini, Perppu yang telah dikeluarkan sebagai bentuk kebijakan hukum tetap harus kita hormati. Oleh karena secara sistemik tatanan hukum kita sudah mengatur jika Perppu oleh DPR RI tidak disetujui otomatis secara hukum Perppu tersebut tidak berlaku (batal).

Solusi atas gugatan ke MK terkait pembatalan Perppu juga masih menimbulkan pertanyaan hukum mengingat legal standing Perppu tidak dapat secara hukum disetarakan dengan UU sementara obyek dari gugatan MK adalah UU. Dengan demikian, kita semua sebagai WNI yang baik tetap menghormati hukum kita. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat